jadi jangan lupa untuk terus kunjungi Blog ini yah.....
Kamis, 27 Desember 2012
BIOLOGI EVENT HIMBIO FMIPA UNHAS
Buat adik-adik SMA, SMP, dan SD yang berada di wilayah Sulawesi Selatan dan mempunyai potensi dalam bidang mata pelajaran Biologi dapat mengikuti lomba ini, yang Insya Allah akan dilaksanakan pada Bulan maret 2013. untuk waktu n tempatnya nanti menyusul.
Rabu, 12 Desember 2012
EVOLUSI = MANUSIA BERASAL DARI KERA?????? DO YOU BELIEVE THAT???
Sejak dahulu
kala manusia selalu mempertanyakan asal usul kehidupan. Bagaimana manusia itu
ada dan bagaimana proses terjadinya? Apakah manusia itu ada, langsung JLEB....
muncul sendiri secara tiba-tiba, atau diciptakan oleh sang pencipta, atau
bahkan munculnya manusia itu melalui suatu proses evolusi yang sangat lama,
atau jangan-jangan bertransformasi alias berubah gitu. Kayak manusia sekarang
bisa bertransformasi, ada yang berubah jadi spiderman, power ranger, ultramen,
atau kamen rider (satria baja hitam si manusia belalang) dan masih banyak lagi.
hmm... jangan-jangan sebaliknya ada juga mungkin hewan yang bertransformasi
menjadi manusia..????
Tetapi.. Kalo
ditanya "siapa manusia pertama dimuka bumi ini?"..
Jawaban saya
adalah nabi Adam. Kenapa nabi Adam? Karena dari SD, SMP, sampe ke SMA, semua
guru agama yang ngajar pelajaran agama islam pasti bilang bahwa manusia pertama
adalah nabi Adam.
Waktu pertama
kali diajarkan mata pelajaran agama islam di SD, guru saya menjelaskan bahwa
nabi Adam adalah manusia pertama yang diciptakan Allah berasal dari tanah.
Sebagai anak kecil yang polos dan tak berdosa akan ketidak tahuannya (pada
zaman itu), saya awalnya gak percaya manusia itu tercipta dari tanah, mana
mungkin bisa (terlintas diotakku pada saat itu). Namun sebagai orang yang
beragama islam saya harus percaya dan tidak boleh meragukan kebenaran dari
Al-Quran, yakni kitab suci bagi umat islam yang diturunkan kepada nabi Muhammad
SAW.
Nah.. pas
zaman SD kan saya tuh masih belum mengerti kenapa manusia diciptakan berasal
dari tanah. Setelah saya di SMA, akhirnya saya benar-benar paham kenapa manusia
itu diciptakan dari tanah.
Hal ini
dijelaskan dalam Al-Quran surat Al-Mu’minun ayat 12-15
12. Dan
Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari
tanah.
13. Kemudian
kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh
(rahim).
14. Kemudian
air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia
makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling
baik.
15. Kemudian,
sesudah itu, Sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati.
Nah dari situ
udah jelaskan asal mula manusia ditinjau dari sisi islam.
"Bagaimana
dengan orang yang berpendapat berbeda akan asal manusia?"
Pasti udah pada
dong dengan sebuah teori yang pernah menggemparkan alam semesta (gempa kale),
yaitu sebuah Teori Evolusi yang menjelaskan bahwa asal usul manusia itu berasal
dari kera. Yaap... teori ini dari dulu katanya dikemukakan oleh Charles Darwin.
Darwin berpendapat bahwa manusia berasal dari kera yang mengalami proses
evolusi yang sangat panjang sehingga menjadi bentuk yang sempurna. Apakah itu
benar????
Apa yang muncul di benak Anda ketika mendengar kata
‘evolusi’?
Mungkin yang akan muncul di benak Anda adalah sosok Charles Darwin,
kemudian diikuti dengan gambar-gambar fosil purbakala, manusia berasal dari
kera, atau kemudian bagan yang memperlihatkan bagamana kera yang lambat laun
menjadi manusia modern seperti sekarang. Betul ? :) :)
Ya, memang seperti itulah keadaanya. Khususnya di Indonesia, saya rasa
anggapan tersebut tidak dapat terelakkan. Apalagi ditambah lagi dengan
keyakinan bahwa teori evolusi akan menyebabkan ateisme, menyimpang dari ajaran
agama, atau kepercayaan-kepercayaan lain menyebabkan ilmu evolusi sulit
berkembang. Atau mungkin saja ilmu ini menjadi tabu bagi sebagian orang untuk
memahaminya secara lebih dalam.
Padahal, evolusi sebenarnya telah jauh berkembang. Bahkan kata ‘evolusi’
sendiri saat ini memiliki pengertian yang bermacam-macam. Tidak hanya dipakai
dalam kajian ilmu biologi, namun juga telah dipakai di berbagai bidang keilmuan
yang lain. Khusus untuk evolusi dalam kajian biologi, kata ‘evolusi’ sendiri
juga memiliki pengertian yang bercabang. Evolusi saat ini tidak secara otomatis
berarti ‘manusia merupakan keturunan kera’. Sejalan dengan perkembangan
teknologi dan ilmu pengetahuan evolusi dalam kajian biologi memiliki beberapa
pengertian yang berbeda. Diantaranya seperti yang dijelaskan pada
discovery.org, evolusi memiliki beberapa pengertian khusus.
Pengertian 1
Evolusi bisa berarti bahwa bentuk-bentuk kehidupan yang kita lihat saat ini
adalah berbeda dengan bentuk-bentuk yang ada di masa lampau. Dalam hal ini,
evolusi sebagai ‘perubahan sepanjang waktu’ tersebut juga termasuk kedalamnya
adalah perubahan-perubahan kecil pada satu individu dalam suatu spesies.
Perubahan-perubahan kecil tersebut dapat terjadi dalam jangka waktu yang
pendek. Perubahan tersebut terjadi pada populasi suatau spesies. Namun, yang
perlu dipahami adalah perubahan tersebut tidak akan menyebabkan individu
tersebut menjadi spesies baru. Perubahan tersebut hanya akan menghasilkan
variasi dalam sepesies. Evolusi dalam artian tersebut telah diterima secara luas
dan tidak diragukan lagi kebenarannya, bahkan oleh mereka yang skeptis terhadap
teori Darwin sekalipun.
Pengertian 2
Beberapa ilmuwan menghubungkan kata evolusi dengan pemikiran bahwa semua
organisme yang ada saat ini merupakan turunan dari satu nenek moyang yang sama
pada masa lampau. Klaim ini kita dikenal sebagai teori ‘Universal Common
Descent’. Teori ini menggambarkan sejarah kehidupan di bumi seperti pohon yang
bercabang.
Pengertian 3
Dan yang terakhir, beberapa orang menggunakan kata evolusi untuk menjelaskan
penyebab atau mekanisme perubahan, dimana proses biologis yang pernah
dijelaskan oleh Darwin termasuk dalam pembahasan ini. Darwin berpendapat bahwa
seleksi alam memiliki kekuatan untuk menghasilkan bentuk kehidupan yang
berbeda. Gabungan dari kedua ide inilah (Universal Common Descent dan seleksi
alam) yang menjadi inti dari teori evolusi Darwin. Pada masa sekarang,
evolusionis Neo-Darwin mengkombinasikan pengetahuan tentang DNA dan genetika
untuk mendukung klaim mereka bahwa mutasi pada DNA akan menghasilkan variasi
dimana seleksi alam juga ikut berperan.
Masalah manusia purba, salah satu Teori Evolusi yang terkenal adalah
kepunyaannya Charles Darwin,, sebenarnya masih banyak lagi teori-teori evolusi
yang ada., kalau ditanya mana yang paling benar., belum diketahui pasti mana
yang benar., karena mereka mempunyai dasar pemikiran sendiri-sendiri yang
menurut mereka kuat., dan sampai saat ini,, teori evolusi masih terus
berkembang (selain berdasarkan agama islam).
Apakah Anda Setuju Kalau Manusia Berasal Dari Kera???
Kalo saya sih jelas
tidak setuju dengan teori ini, masa manusia berasal dari kera. Emang apa
buktinya? Cuman data fosil-fosil doang (ceilaaaaah). Kan yang membedakan
manusia dengan makhluk hidup lain itu adalah akal. Kalo manusia disuruh milih
mau uang 1 juta atau pisang sebuah, yang pasti milih 1 juta dong buat beli
banyak pisang hahaha.. gak juga kale ya.. nah kalo kera pasti tuh pilih pisang
sebuah, kenapa? Ya karena makanan favoritnya pisang.. tapi terkadang ada juga
manusia yang sifatnya mungkin mirip dengan kera.. contohnya Tarzan :D
Kesimpulannya..
jika disuruh milih manusia pertama berdasarkan teori evolusi Darwin atau nabi
Adam? Menurut saya manusia pertama nabi Adam pastinya.. kenapa..? kalo
percaya dengan teori evolusi Darwin, berarti tidak percaya dengan Tuhan yaitu
Allah SWT yang jelas-jelas dalam Al-Quran mengatakan bahwa manusia pertama
adalah nabi Adam. nah.. kalo menurut teman-teman????
Tapi kalo ada yang ngejek kita (haaa?.. kita? lo aja kale gue enggak).. bilang kayak gini.. "hahaha.. muka lo mirip monyet.." kita harus menyikapinya dengan bijak, senang hati dan positif thinking plus nyengir ceria.. daripada kita dibilangin kayak gini >> "daripada lo.. mukanya mirip manusia.. hahahah" nah miriskan ejekan yang satu ini.. ckckck.. jadi renungkanlah hahaha..... # SMILE AND SAY JAHE.............
Senin, 10 Desember 2012
MEKANISME IMUNODEFISIENSI
1.
MEKANISME
IMUNODEFISIENSI
Imunodefisiensi adalah sekumpulan keadaan
yang berlainan, dimana sistem kekebalan tidak berfungsi secara adekuat,
sehingga infeksi lebih sering terjadi, lebih sering berulang, luar biasa berat
dan berlangsung lebih lama dari biasanya. Jika suatu infeksi terjadi secara
berulang dan berat (pada bayi baru lahir, anak-anak maupun dewasa), serta tidak
memberikan respon terhadap antibiotik, maka kemungkinan masalahnya terletak
pada sistem kekebalan. Gangguan pada sistem kekebalan juga menyebabkan kanker
atau infeksi virus, jamur atau bakteri yang tidak biasa.
Imunodefisiensi atau defisiensi imun dapat dibagi menjadi :
·
Defesiensi imun non spesifik
yang meliputi defesiensi komplemen, interferon dan lisozim, sel NK dan sistem
fagositosit.
·
Defesiensi imun spesifik yang
meliputi defisiensi kongenital atau primer, defisiensi imun spesifik fisologik,
dan defesiensi imun yang didapat atau sekunder.
A. Defesiensi imun non
spesifik
Defek primer pada imunitas non-spesifik
Imunitas humoral spesifik membutuhkan
mekanisme efektor non-spesifik untuk kerjanya. Mikroorganisme yang telah
diopsonisasi oleh antibodi IgG siap untuk terikat dan difagosit oleh sel
fagosit. Lisis bakteri yang tergantung komplemen juga membutuhkan jalur
komplemen berfungsi dengan baik, demikian pula pada kompleks
antibodi-komplemen.
Defek fungsi neutrofil
Peran utama neutrofil adalah memfagosit,
menghancurkan dan mengolah mikroorganisme yang menginvasi, terutama bakteri dan
jamur. Defek pada neutrofil dapat bersifat kuantitatif (neutropenia) atau
kualitatif (disfungsi neutrofil), namun manifestasi klinisnya sama.
Jumlah neutrofil yang bersirkulasi normalnya melebihi 1,5×109/l.
Neutropenia ringan biasanya asimtomatik, namun derajat sedang sampai berat
dihubungkan dengan peningkatan risiko dan keparahan infeksi (infeksi akan
mengancam nyawa bila jumlah neutrofil di bawah 0,5×109/l).
Neutropenia lebih umum ditemukan dibandingkan disfungsi neutrofil, dan penyebab
sekunder neutropenia lebih umum dibandingkan penyebab primernya, namun bentuk
primer (kongenital) ini bersifat fatal (Tabel 28-7). Neutropenia sering terjadi
akibat efek samping dari kemoterapi untuk penyakit keganasan.
Beberapa penyebab neutropenia
a. Penurunan produksi
dengan hipoplasia sumsum
b. Peningkatan destruksi dengan hiperplasia sumsum
|
Fungsi neutrofil dapat dibagi dalam beberapa
stadium dan defek kualitatif dapat diklasifikasikan sesuai tahapan fungsi yang
terganggu. Pergerakan neutrofil yang menurun dapat timbul tanpa dikaitkan
dengan defek fagositosis dan mekanisme penghancuran. Fungsi opsonisasi yang
kurang karena defisiensi antibodi berat atau kadar C3 yang rendah dapat
meningkatkan kerawanan terhadap infeksi, hal ini diperberat bila neutrofil
mempunyai fungsi fagosit yang buruk, baik primer atau sekunder.
Apabila mekanisme penghancuran intraseluler gagal, bakteri yang difagosit dapat
bertahan dan berproliferasi di dalam lingkungan intraseluler, bebas dari efek
antibodi dan antibiotik. Contohnya adalah sindrom penyakit granulomatosa kronik
(chronic granulomatous disease, CGD), yang timbul akibat kegagalan
produksi radikal oksigen bakterisidal selama proses respiratory burst
dalam aktivasi fagositosis. Tipe klasik CGD diturunkan sebagai kelainan X-linked
recessive, dan biasanya muncul dalam 2 bulan pertama, meskipun diagnosis
mungkin baru ditegakkan saat dewasa muda. Komplikasi yang muncul dapat berupa
limfadenopati regional, hepatosplenomegali, abses hepar dan osteomielitis.
Tatalaksana CGD meliputi antibiotik profilaksis (biasanya kotrimoksazol) dan
antifungal bila diperlukan.
Defisiensi komplemen
Aktivitas komplemen yang rusak biasanya
terjadi sekunder terhadap penyakit yang menggunakan komplemen melalui jalur
klasik atau alternatif. Contohnya adalah penyakit lupus eritematosus sistemik
yang mengkonsumsi jalur klasik kompenen komplemen C1, C4 dan C2 dan
mengakibatkan rusaknya kemampuan komplemen untuk melarutkan kompleks imun.
Pada manusia, defisiensi komponen komplemen yang diturunkan dikaitkan dengan
sindrom klinik. Banyak pasien dengan defisiensi C1, C4 atau C2 mempunyai lupus-like
syndrome, seperti ruam malar, artralgia, glomerulonefritis, demam atau
vaskulitis kronik dan infeksi piogenik rekuren. Antinuklear dan antibodi
anti-dsDNA dapat tidak ditemukan. Adanya defisiensi komponen komplenen jalur
klasik ini menurunkan kemampuan individu untuk eliminasi kompleks imun.
Pasien dengan defisiensi C3 dapat terjadi secara primer atau sekunder,
contohnya defisiensi inhibitor C3b, seperti faktor I atau H akan meningkatkan
risiko untuk terkena infeksi bakteri rekuren. Individu biasanya terkena infeksi
yang mengancam nyawa, seperti pneumonia, septikemia dan meningitis.
Terdapat hubungan kuat antara defisiensi C5, C6, C7, C8 atau properdin dengan
infeksi neiseria rekuren. Biasanya pasien mempunyai infeksi gonokokus rekuren,
terutama septikemia dan artritis, atau meningitis meningokukos rekuren.
Defisiensi inhibitor C1 merupakan defisiensi sistem komplemen diturunkan yang
paling sering dan penyebab angioedema herediter.
Contoh dari penyakit yang disebabkan oleh defisiensi sistem
komplemen adalah penyakit lupus. Lupus merupakan penyakit yang menyerang perubahan sistem
kekebalan perorangan, yang sampai kini belum diketahui penyebabnya. Penyakit
ini muncul akibat kelainan fungsi sistem kekebalan tubuh. Dalam tubuh
seseorang terdapat antibodi yang berfungsi menyerang sumber
penyakit yang akan masuk dalam tubuh. Uniknya,
penyakit Lupus ini antibody yang terbentuk dalam tubuh muncul berlebihan. Hasilnya,
antibodi justru menyerang sel-sel jaringan organ tubuh yang sehat. Kelainan ini
disebut autoimunitas
Antibodi yang berlebihan ini, bisa masuk ke
seluruh jaringan dengan dua cara yaitu :
Pertama, antibodi aneh ini bisa langsung
menyerang jaringan sel tubuh, seperti pada
sel-sel darah merah yang menyebabkan selnya akan hancur. Inilah
yang mengakibatkan penderitanya kekurangan sel darah merah
atau anemia. Kedua, antibodi bisa bergabung dengan antigen (zat
perangsang pembentukan antibodi), membentuk ikatan yang disebut kompleks
imun. Gabungan
antibodi dan antigen mengalir bersama
darah, sampai tersangkut di pembuluh darah kapiler akan
menimbulkan peradangan. Dalam keadaan normal, kompleks ini akan dibatasi oleh
sel-sel radang (fagosit) Tetapi, dalam keadaan
abnormal, kompleks ini tidak dapat dibatasi dengan baik.
Malah sel-sel radang tadi bertambah banyak sambil mengeluarkan
enzim, yang menimbulkan peradangan di sekitar kompleks. Hasilnya, proses
peradangan akan berkepanjangan dan akan merusak organ tubuh
dan mengganggu fungsinya. Selanjutnya, hal ini akan terlihat
sebagai gejala penyakit. Kalau hal ini terjadi, maka dalam jangka
panjang fungsi organ tubuh akan terganggu.
Umumnya
penderita Lupus mengalami gejala seperti.
kulit yang mudah gosong akibat sinar matahari
serta timbulnya gangguan pencernaan. Gejala umumnya
penderita sering merasa lemah, kelelahan yang berlebihan,
demam dan pegal-pegal. Gejala ini terutama didapatkan
pada masa aktif, sedangkan pada masa remisi (nonaktif) menghilang.
Pada kulit, akan muncul ruam merah yang membentang di kedua pipi,
mirip kupu-kupu. Kadang disebut (butterfly rash). Namun ruam
merah menyerupai cakram bisa muncul di kulit seluruh tubuh, menonjol dan
kadang-kadang bersisik.
B. Defesiensi Imun Spesifik
Klasifikasi defisiensi imun primer
Defisiensi imun humoral (sel B) Hipogamaglobulinemia
x-linked (hipogamaglobulinemia kongenital) Hipogamaglobulinemia
transien (pada bayi)
Defisiensi imun tak terklasifikasi, umum, bervariasi (hipogamaglobulinemia
didapat)
Defisiensi imun dengan hiperIgM
Defisiensi IgA selektif
Defisiensi imun IgM selektif
Defisiensi sub kelas IgG selektif
Defisiensi sel B sekunder berhubungan dengan obat,
kehilangan protein
Penyakit limfoproliferatif x-linked
|
Defisiensi imun selular (sel T) Aplasia
timus kongenital (sindrom DiGeorge) Kandidiasis mukokutaneus kronik (dengan
atau tanpa endokrinopati)
Defisiensi sel T berhubungan dengan defisiensi purin
nukleosid fosforilase
Defisiensi sel T berhubungan dengan defek glikoprotein
membran
Defisiensi sel T berhubungan dengan absen MHC kelas I
dan atau kelas II (sindrom limfosit telanjang)
|
Defisiensi imun gabungan humoral (sel B) dan selular (sel
T) Defisiensi imun berat gabungan
(autosom resesif, x-linked, sporadik)Defisiensi imun selular dengan gangguan
sintesis imunoglobulin (sindrom Nezelof)
Defisiensi imun dengan ataksia teleangiektasis
Defisiensi imun dengan eksim dengan trombositopenia
(sindrom Wiskott-Aldrich)
Defisiensi imun dengan timoma
Defisiensi imun dengan short-limbed dwarfism
Defisiensi imun dengan defisiensi adenosin deaminase
Defisiensi imun dengan defisiensi nukleosid
fosforilase
Defisiensi karboksilase multipel yang tergantung
biotin
Penyakit graft-versus-host
Sindrom defisiensi imun didapat (AIDS)
|
Disfungsi fagosit Penyakit
granulomatosis kronik Defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase
Defisiensi mieloperoksidase
Sindrom Chediak-Higashi
Sindrom Job
Defisiensi tuftsin
Sindrom leukosit malas
Peninggian IgE, defek kemotaksis dan infeksi rekuren
|
Usia (tahun)
|
Anak
|
Dewasa
|
< 2
|
Transient
hypogammaglobulinaemia of infancyX-linked agammaglobulinaemiaHyper-IgM with
immunoglobulin deficiency
|
Dapat terjadi, namun jarangDapat
terjadi, namun jarang
|
3-15
|
Selective antibody
deficienciesCommon variable immunodeficiencySelective IgA deficiency
|
|
16-50
|
Selective antibody
deficienciesCommon variable immunodeficiencySelective IgA deficiency
|
|
> 50
|
Antibody deficiencies with
thymoma
|
Transient hypogammaglobulinaemia
of infancy
Antibodi IgG maternal secara aktif
ditransfer melalui plasenta ke sirkulasi fetal mulai dari bulan ke-4
gestasional dan mencapai puncaknya saat 2 bulan terakhir. Saat lahir, bayi
mempunyai kadar IgG serum yang sama dengan ibu. Katabolisme IgG maternal hanya
dikompensasi sebagian oleh IgG yang dibentuk bayi. Periode 3-6 bulan merupakan
fase “hipogamaglobulinemia fisiologik”. Bayi normal tidak terlalu rawan
terhadap infeksi karena masih terdapat antibodi yang berfungsi meskipun kadar
IgG rendah.
Namun kadar IgG akan sangat kurang apabila
IgG yang didapat dari ibu sedikit, seperti pada prematuritas. Bayi-bayi yang
lahir pada minggu gestasi ke 26-32 mungkin membutuhkan perawatan intensif agar
dapat bertahan hidup, di sisi lain perawatan invasif dapat meningkatkan risiko
infeksi. Terapi pengganti imunoglobulin dapat bermanfaat pada bayi berat lahir
rendah di negara dengan prosedur invasif dan insidens infeksi bakteri cukup
tinggi, sampai bayi tersebut mampu memproduksi antibodi protektif sendiri.
Hipogamaglobulinemia transien juga dapat terjadi bila bayi lambat dalam
memproduksi IgG. Dengan menurunnya kadar IgG serum yang diperoleh dari ibu,
bayi lebih rawan mendapat infeksi piogenik rekuren. Pembentukan IgG secara
spontan dapat membutuhkan waktu berbulan-bulan. Keadaan ini harus dapat
dibedakan dari hipogamaglubulinemia patologik, karena ada perbedaan
tatalaksana. Pada sebagian besar bayi, bayi tetap sehat dan tidak memerlukan
terapi spesifik, bahkan jika kadar imunoglobulin di bawah ambang normal.
Apabila terjadi infeksi berat, dapat diberikan antibiotik profilaksis. Hal ini
mungkin dibutuhkan dalam jangka waktu 1-2 tahun sampai sintesis IgG endogen
mencukupi.
X-linked agammaglobulinaemia (Bruton’s
disease)
Anak laki-laki dengan X-linked
agammaglobulinaemia (XLA) biasanya menunjukkan infeksi piogenik rekuren
antara usia 4 bulan sampai 2 tahun, biasanya rawan terhadap infeksi enterovirus
yang dapat mengancam nyawa.
Pada sebagian besar pasien, sel B matur tidak ada namun jumlah sel T normal
atau bahkan meningkat. Tidak ditemukan sel plasma pada sumsum tulang, nodus
limfe atau saluran cerna. Diferensiasi sel pre-B menjadi sel B tergantung pada
enzim tirosin kinase (dikenal dengan Bruton’s tyrosin kinase, Btk),
yang mengalami defisiensi pada pasien XLA (Gambar 28-2). Gen untuk enzim ini
terletak pada lengan panjang kromosom X dan ekspresinya hanya terbatas pada
perkembangan sel B.
Diagnosis berdasarkan pada penemuan kadar semua isotop imunoglobulin serum yang
sangat rendah, tidak adanya limfosit B matur di sirkulasi dan mutasi gen Btk.
Identifikasi gen dapat berguna dalam mengidentifikasi perempuan karier yang
asimtomatik, dan dilakukan saat prenatal. Tatalaksana berupa imunoglobulin
pengganti.
Hyper-IgM antibody deficiency
Beberapa anak dengan defisiensi antibodi
mempunyai kadar IgM serum yang normal atau meningkat. Anak-anak tersebut juga
mempunyai risiko tambahan terhadap infeksi Pneumocystis carinii, yang
secara normal terjadi pada defek sel T. Hal ini menunjukkan defek pada
defisiensi antibodi ini tidak hanya terbatas pada defek sel B. Penyakit terkait
kromosom X ini disebabkan oleh kegagalan molekul aksesori ligan CD40 pada sel
T, yang bereaksi dengan CD40 pada sel B untuk merangsang perubahan IgM menjadi
IgG atau IgA pada sel B yang terstimulasi antigen (Gambar 28-2). Tatalaksana
berupa imunoglobulin pengganti dan uji genetik untuk perempuan karier.
Common variable immunodeficiency
Common variable immunodeficiency (CVID) merupakan penyakit heterogen yang terjadi dapat pada anak atau
dewasa. Banyak pasien tidak terdiagnosis sampai usia dewasa. Sebagian besar
pasien CVID mempunyai kadar IgG dan IgA serum yang sangat rendah dengan kadar
IgM normal atau sedikit menurun dan jumlah sel B yang normal. Meskipun jarang
terjadi, namun CVID merupakan defisiensi antibodi primer simtomatik yang paling
umum terjadi. Terapi berupa imunoglobulin pengganti.
Selective antibody deficiencies
Defisiensi selektif salah satu atau lebih
subklas IgG sering tidak terdeteksi karena kontribusi IgG1 terhadap IgG total
yang relatif besar (70%) sehingga dapat mempertahankan kadar IgG “normal”.
Aktivitas utama subklas antibodi menentukan jenis infeksi. Antibodi IgG2
mendominasi respons antibodi pada anak lebih tua dan dewasa terhadap antigen
polisakarida, seperti pada organisme berkapsul, contohnya Streptococcus
pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Oleh karena itu defisiensi
IgG2 menyebabkan individu terpajan terhadap infeksi saluran nafas berulang,
septikemia pneumokokus atau meningitis. Respons antibodi terhadap antigen
protein seperti virus atau toksoid, dikaitkan dengan subklas IgG1 dan IgG3.
Pada pasien dengan defisiensi salah satu subklas IgG, peningkatan kadar subklas
IgG lain akan mengkompensasi untuk menjaga kadar IgG normal.
Anak di bawah 2 tahun tidak berespons terhadap antigen polisakarida dan
mempunyai kadar IgG2 yang rendah. Respons antibodi spesifik IgG2 berkembang
perlahan dan mencapai kadar puncak seperti dewasa pada usia 4-6 tahun. Oleh
karena itu, anak usia muda rawan terkena infeksi oleh organisme berkapsul
polisakarida. Defisiensi IgG1 dan IgG3 biasa terjadi bersamaan, menyebabkan
resposn imun yang kurang baik terhadap antigen protein dan dikaitkan dengan infeksi
rekuren. Defisiensi subklas IgG juga dikaitkan dengan defisiensi IgA dan
dikaitkan dengan masalah paru.
Selective IgA deficiencies
Defek ini merupakan defek primer yang sering
ditemukan pada imunitas spesifik. Defek ditandai dengan kadar IgA serum yang
sangat rendah atau tidak terdeteksi dengan konsentrasi IgG dan IgM yang normal.
Defisiensi IgA selektif menyebabkan individu terpajan pada infeksi bakteri
rekuren, penyakit autoimun dan intoleransi makanan (susu). Sekitar 1/5 pasien
dengan defisiensi IgA selektif mempunyai antibodi terhadap IgA, sehingga dapat
terjadi reaksi simpang setelah tranfusi darah atau plasma.
Komplikasi defisiensi antibodi
Terdapat berbagai variasi komplikasi pada
pasien dengan defisiensi antibodi. Sepsis kronik pada saluran nafas atas dan
bawah dapat menyebabkan otitis media kronik, ketulian, sinusitis,
bronkiektasis, fibrosis pulmonal dan kor pulmonal. Penyakit gastrointestinal
ringan seperti sindrom anemia pernisiosa lebih umun terjadi, namun berbeda
dengan anemia pernisiosa klasik. Pada anemia ini tidak terdapat autoantibodi
terhadap sel parietal dan faktor intrinsik serta terdapat atrofi gastritis pada
seluruh lambung tanpa antral sparing. Diare, tanpa atau dengan
malabsorpsi, lebih sering disebabkan oleh infestasi Giardia lamblia,
pertumbuhan bakteri berlebihan di usus kecil atau infeksi persisten oleh Cryptosporidium,
Campylobacter, rotavirus atau enterovirus. Fenomena autoimun
merupakan kejadian yang umum, sebanyak 15% muncul sebagai anemia hemolitik
autoimun dan trombositopenia autoimun. Artropati terjadi pada 12% defisiensi
antibodi. Beberapa pasien dapat terkena artritis kronik pada sendi besar dan
artritis monoartikular tanpa terdapat faktor reumatoid.
Pasien dengan X-linked
agammaglobulinaemia dan CVID rawan terhadap infeksi kronik echovirus, dan
menyebabkan meningoensefalitis persisten. Pasien dengan defisiensi imun yang
melibatkan imunitas humoral dan/atau seluler mempunyai risiko 10-200 kali lipat
untuk terkena penyakit keganasan.
Kombinasi defisiensi primer sel T dan sel B
Depresi imunitas sel T biasanya disertai dengan
variasi abnormalitas fungsi sel B. Hal ini menunjukkan kerjasama sel T dan B
dalam produksi antibodi terhadap sebagian antigen.
Defesiensi imun sekunder
Defisiensi imun spesifik fisiologik dapat
berupa kehamilan, usia tahun pertama, dan usia lanjut. Sedangkan defisiensi
imun didapat atau sekunder merupakan defisiensi sekunder yang paling sering
ditemukan. Defisiensi tersebut mengenai fungsi fagosit dan limfosit akibat
infeksi, malnutrisi, terapi sitotoksik, dan lainnya. (tabel selengkapnya
dilampirkan)
Malnutrisi.
Malnutrisi dan defisiensi besi dapat menimbulkan depresi sistem imun terutama
pada imunitas seluler. Nutrisi buruk untuk jangka waktu lama dapat
menghilangkan sel lemak yang biasanya melepas hormone leptin yang merangsang
sistem imun.
Infeksi.
Campak dan virus lain dapat menginfeksi tubuh dan menginduksi supresi DTH
sementara. Jumlah sel T dalam sirkulasi dan respons limfosit terhadap antigen
dan mitogen menurun.
Obat, trauma, tindakan kateterisasi dan
bedah. Antibiotik dapat menekan sistem imun. Obat
sitotoksik dapat mengganggu kemotaksis neutrofil. Sedangkan steroid dalam dosis
tinggi dapat menekan fungsi sel T dan inflamasi.
Penyinaran.
Penyinaran dosis tinggi menekan seluruh jaringan limfoid, sedangkan dosis
rendah dapat menekan aktivitas sel Ts secara selektif.
Kehilangan
immunoglobulin. Defisiensi Ig dapat terjadi
akibat kehilangan protein yang berlebihan seperti pada penyakit ginjal dan
diare. Pada sindrom nefrotik ditemukan kehilangan protein dan penurunan IgG dan
IgA yang berarti, sedangkan IgM normal.
2.
MEKANISME HIPERSENSITIVITAS
Hipersensitivitas
adalah keadaan perubahan reaktivitas, tubuh bereaksi dengan respon imun
berlebihan atau tidak tepat terhadap suatu benda asing. Hipersensitivitas
terbagi menjadi 4 kelas (I-IV) :
o Reaksi anafilaksi
o Reaksi sitotoksik
o Reaksi imun kompleks
o
Reaksi
tipe lambat
Reaksi Hipersentivitas Tipe I
- Sel
mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari 100
tahun yang lalu. Sel ini mempunyai gambaran granula sitoplasma yang
mencolok. Pada saat itu sel mast dan basofil belum diketahui fungsinya.
Beberapa waktu kemudian baru diketahui bahwa sel-sel ini mempunyai peran
penting pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi tipe I) melalui
mediator yang dikandungnya, yaitu histamin dan zat peradangan lainnya.
- Reaksi
hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi
reaksi anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk
terjadinya suatu reaksi selular yang berangkai pada reaksi tipe Ia
diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan dengan reseptor
IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan.
- Proses
aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada
permukaan sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks
kovalen hapten-protein. Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai
mediator peradangan yang menimbulkan gejala alergi pada penderita,
misalnya reaksi anafilaktik terhadap penisilin atau gejala rinitis alergik
akibat reaksi serbuk bunga.
- Reaksi
anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran
IgE. Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat
kontras atau akibat anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi
komplemen (lihat bab mengenai komplemen).
- Eosinofil
berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I
melalui faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil
chemotactic factor of anaphylaxis). Zat ini merupakan salah
satu dari preformed mediators yaitu mediator yang sudah ada dalam
granula sel mast selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF = neutrophil
chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian
merupakan metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang
berperan pada reaksi tipe I.
- Menurut
jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat
dan fase lambat.
Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat biasanya terjadi beberapa
menit setelah pajanan antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat bertahan dalam
beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi. Setelah masa refrakter
sel mast dan basofil yang berlangsung selama beberapa jam, dapat terjadi resintesis
mediator farmakologik reaksi hipersensitivitas, yang kemudian dapat responsif
lagi terhadap alergen.
- Reaksi
hipersensitivitas tipe I fase lambat Mekanisme
terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat ini belum jelas
benar diketahui. Ternyata sel mast masih merupakan sel yang menentukan
terjadinya reaksi ini seperti terbukti bahwa reaksi alergi tipe lambat
jarang terjadi tanpa didahului reaksi alergi fase cepat. Sel mast dapat
membebaskan mediator kemotaktik dan sitokin yang menarik sel radang ke
tempat terjadinya reaksi alergi. Mediator fase aktif dari sel mast
tersebut akan meningkatkan permeabilitas kapiler yang meningkatkan sel
radang.
- Limfosit
mungkin memegang peranan dalam timbulnya reaksi alergi fase lambat
dibandingkan dengan sel mast. Limfosit dapat melepaskan histamin
releasing factor dan sitokin lainnya yang akan meningkatkan pelepasan
mediator-mediator dari sel mast dan sel lain.
- Eosinofil
dapat memproduksi protein sitotoksik seperti major basic protein (MBP)
afau eosinophil cationic protein (ECP). Makrofag dan neutrofil
melepas faktor kemotaktik, sitokin, oksigen radikal bebas, serta enzim
yang berperan di dalam peradangan. Neutrofil adalah sel yang pertama
berada pada infiltrat peradangan setelah reaksi alergi fase cepat dalam
keadaan teraktivasi yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan jaringan
dan menarik sel lain, terutama eosinofil.
- Mediator penyakit
alergi (hipersensitivitas tipe I) Seperti
telah diuraikan di atas bahwa mediator dibebaskan bila terjadi interaksi
antara antigen dengan IgE spesifik yang terikat pada membran sel mast.
Mediator ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator yang sudah
ada dalam granula sel mast (preformed mediator) dan
mediator yang terbentuk kemudian (newly formed mediator).
Menurut asalnya mediator ini juga dapat dibagi dalam dua
kelompok, yaitu mediator dari sel mast atau basofil (mediator primer), dan
mediator dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator primer (mediator
sekunder).
Mediator yang sudah ada dalam granula sel mast
Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu
histamin, eosinophil chemotactic factor of anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil
chemoctatic factor (NCF).
1. Histamin
Histamin dibentuk dari asam amino histidin
dengan perantaraan enzim histidin dekarboksilase. Setelah dibebaskan, histamin
dengan cepat dipecah secara enzimatik serta berada dalam jumlah kecil dalam
cairan jaringan dan plasma. Kadar normal dalam plasma adalah kurang dari 1
ng/μL akan tetapi dapat meningkat sampai 1-2 ng/μL setelah uji provokasi dengan
alergen. Gejala yang timbul akibat histamin dapat terjadi dalam beberapa menit
berupa rangsangan terhadap reseptor saraf iritan, kontraksi otot polos, serta
peningkatan permeabilitas vaskular.
Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh
bervariasi. Pada hidung timbul rasa gatal, hipersekresi dan tersumbat. Histamin
yang diberikan secara inhalasi dapat menimbulkan kontraksi otot polos bronkus
yang menyebabkan bronkokonstriksi. Gejala kulit adalah reaksi gatal berupa wheal
and flare, dan pada saluran cerna adalah hipersekresi asam
lambung, kejang usus, dan diare. Histamin mempunyai peran kecil pada asma,
karena itu antihistamin hanya dapat mencegah sebagian gejala alergi pada mata,
hidung dan kulit, tetapi tidak pada bronkus.
Kadar histamin yang meninggi dalam plasma
dapat menimbulkan gejala sistemik berat (anafilaksis). Histamin mempunyai
peranan penting pada reaksi fase awal setelah kontak dengan alergen (terutama
pada mata, hidung dan kulit). Pada reaksi fase lambat, histamin membantu
timbulnya reaksi inflamasi dengan cara memudahkan migrasi imunoglobulin dan sel
peradangan ke jaringan. Fungsi ini mungkin bermanfaat pada keadaan infeksi.
Fungsi histamin dalam keadaan normal saat ini belum banyak diketahui kecuali
fungsi pada sekresi lambung. Diduga histamin mempunyai peran dalam regulasi
tonus mikrovaskular. Melalui reseptor H2 diperkirakan histamin juga mempunyai
efek modulasi respons beberapa sel termasuk limfosit.
2. Faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A)
Mediator ini mempunyai efek mengumpulkan dan
menahan eosinofil di tempat reaksi radang yang diperan oleh IgE (alergi). ECF-A
merupakan tetrapeptida yang sudah terbentuk dan tersedia dalam granulasi sel
mast dan akan segera dibebaskan pada waktu degranulasi (pada basofil segera
dibentuk setelah kontak dengan alergen).
Mediator lain yang juga bersifat kemotaktik
untuk eosinofil ialah leukotrien LTB4 yang terdapat dalam beberapa hari.
Walaupun eosinofilia merupakan hal yang khas pada penyakit alergi, tetapi tidak
selalu patognomonik untuk keterlibatan sel mast atau basofil karena ECF-A dapat
juga dibebaskan dari sel yang tidak mengikat IgE.
3. Faktor kemotaktik neutrofil (NCF)
NCF (neutrophyl chemotactic factor)
dapat ditemukan pada supernatan fragmen paru manusia setelah provokasi
dengan alergen tertentu. Keadaan ini terjadi dalam beberapa menit dalam
sirkulasi penderita asma setelah provokasi inhalasi dengan alergen atau setelah
timbulnya urtikaria fisik (dingin, panas atau sinar matahari). Oleh karena
mediator ini terbentuk dengan cepat maka diduga ia merupakan mediator primer.
Mediator tersebut mungkin pula berperan pada reaksi hipersensitivitas tipe I
fase lambat yang akan menyebabkan banyaknya neutrofil di tempat reaksi.
Leukotrien LTB4 juga bersifat kemotaktik terhadap neutrofil.
Mediator yang terbentuk kemudian
Mediator yang terbentuk kemudian terdiri
dari hasil metabolisme asam arakidonat, faktor aktivasi trombosit, serotonin,
dan lain-lain. Metabolisme asam arakidonat terdiri dari jalur siklooksigenase
dan jalur lipoksigenase yang masing-masing akan mengeluarkan produk yang
berperan sebagai mediator bagi berbagai proses inflamasi (lihat Gambar 12-3).
1. Produk siklooksigenase
Pertubasi membran sel pada hampir semua sel
berinti akan menginduksi pembentukan satu atau lebih produk siklooksigenase
yaitu prostaglandin (PGD2, PGE2, PGF2) serta tromboksan A2 (TxA2).
Tiap sel mempunyai produk spesifik yang berbeda. Sel mast manusia
misalnya membentuk PGD2 dan TxA2 yang menyebabkan kontraksi otot polos, dan
TxA2 juga dapat mengaktivasi trombosit. Prostaglandin juga dibentuk oleh sel
yang berkumpul di mukosa bronkus selama reaksi alergi fase lambat (neutrofil,
makrofag, dan limfosit).
Prostaglandin E mempunyai efek dilatasi
bronkus, tetapi tidak dipakai sebagai obat bronkodilator karena mempunyai efek
iritasi lokal. Prostaglandin F (PGF2) dapat menimbulkan kontraksi otot polos
bronkus dan usus serta meningkatkan permeabilitas vaskular. Kecuali PGD2,
prostaglandin serta TxA2 berperan terutama sebagai mediator sekunder yang
mungkin menunjang terjadinya reaksi peradangan, akan tetapi peranan yang pasti
dalam reaksi peradangan pada alergi belum diketahui.
2. Produk lipoksigenase
Leukotrien merupakan produk jalur
lipoksigenase. Leukotrien LTE4 adalah zat yang membentuk slow reacting
substance of anaphylaxis (SRS-A). Leukotrien LTB4 merupakan
kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil, sedangkan LTC4, LTD4 dan LTE4 adalah
zat yang dinamakan SRS-A. Sel mast manusia banyak menghasilkan produk
lipoksigenase serta merupakan sumber hampir semua SRS-A yang dibebaskan dari
jaringan paru yang tersensitisasi.
‘Slow reacting substance of anaphylaxis’
Secara in vitro mediator ini mempunyai onset
lebih lambat dengan masa kerja lebih lama dibandingkan dengan histamin, dan
tampaknya hanya didapatkan sedikit perbedaan antara kedua jenis mediator
tersebut. Mediator SRS-A dianggap mempunyai peran yang lebih penting dari
histamin dalam terjadinya asma. Mediator ini mempunyai efek bronkokonstriksi
1000 kali dari histamin. Selain itu SRS-A juga meningkatkan permeabilitas
kapiler serta merangsang sekresi mukus. Secara kimiawi, SRS-A ini terdiri dari
3 leukotrien hasil metabolisme asam arakidonat, yaitu LTC4, LTD4, serta LTE4.
Faktor aktivasi trombosit (PAF = ‘Platelet activating factor’)
Mediator ini pertama kali ditemukan pada
kelinci dan selanjutnya pada manusia. PAF dapat menggumpalkan trombosit serta
mengaktivasi pelepasan serotonin dari trombosit. Selain itu PAF juga
menimbulkan kontraksi otot polos bronkus serta peningkatan permeabilitas
vaskular. Aktivasi trombosit pada manusia terjadi pada reaksi yang diperan oleh
IgE.
Serotonin
Sekitar 90% serotonin tubuh (5-hidroksi
triptamin) terdapat di mukosa saluran cerna. Serotonin ditemukan pada sel mast
binatang tetapi tidak pada sel mast manusia. Dalam reaksi alergi pada manusia,
serotonin merupakan mediator sekunder yang dilepaskan oleh trombosit melalui
aktivasi produk sel mast yaitu PAF dan TxA2. Serotonin dapat meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah.
Sitokin Dalam Regulasi Reaksi Alergi
Selain mediator yang telah disebutkan tadi,
sel mast juga merupakan sumber beberapa sitokin yang mempengaruhi sel yang
berperan pada reaksi alergi. Pada individu yang cenderung untuk alergi, paparan
terhadap beberapa antigen menyebabkan aktivasi sel Th2 dan produksi IgE (lihat
Gambar 12-4). Individu normal tidak mempunyai respons Th2 yang kuat terhadap
sebagian besar antigen asing. Ketika beberapa individu terpapar antigen seperti
protein pada serbuk sari (pollen), makanan tertentu, racun pada
serangga, kutu binatang, atau obat tertentu misalnya penisilin, respons sel T
yang dominan adalah pembentukan sel Th2. Individu yang atopik dapat alergi
terhadap satu atau lebih antigen di atas. Hipersensitivitas tipe cepat terjadi
sebagai akibat dari aktivasi sel Th2 yang berespons terhadap antigen protein
atau zat kimia yang terikat pada protein. Antigen yang menimbulkan reaksi
hipersensitivitas tipe cepat (reaksi alergik) sering disebut sebagai alergen.
Interleukin (IL)-4 dan IL-13, yaitu sebagian
dari sitokin yang disekresi oleh sel Th2, akan menstimulasi limfosit B yang
spesifik terhadap antigen asing untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma yang
kemudian memproduksi IgE. Oleh sebab itu, individu yang atopik akan memproduksi
IgE dalam jumlah besar sebagai respons terhadap antigen yang tidak akan
menimbulkan respons IgE pada sebagian besar orang. Kecenderungan ini mempunyai
dasar genetika yang kuat dengan banyak gen yang berperan.
Reaksi peradangan alergi telah diketahui
dikoordinasi oleh subset limfosit T4 yaitu Th2. Limfosit ini memproduksi IL-3,
IL-4, IL-5, IL-6, TNFα, serta GM-CSF tetapi tidak memproduksi IL-2 atau INF
(diproduksi oleh sel Th1). Alergen diproses oleh makrofag (APC) yang
mensintesis IL-1. Zat ini merangsang dan mengaktivasi sel limfosit T yang
kemudian memproduksi IL-2 yang merangsang sel T4 untuk memproduksi interleukin
lainnya. Ternyata sitokin yang sama juga diproduksi oleh sel mast sehingga
dapat diduga bahwa sel mast juga mempunyai peran sentral yang sama dalam reaksi
alergi. Produksi interleukin diperkirakan dapat langsung
dari sel mast atau dari sel lain akibat
stimulasi oleh mediator sel mast. Interleukin-4 tampaknya merupakan stimulus
utama dalam aktivasi sintesis IgE oleh sel limfosit B. Pada saat yang sama IL-4
meningkatkan ekspresi reseptor Fcε (FcRII) pada sel limfosit B. Interleukin-4
ini pertama kali disebut faktor stimulasi sel B (BSF = B cell
stimulating factor). Aktivasi oleh IL4 ini diperkuat oleh IL-5,
IL-6, dan TNFα, tetapi dihambat oleh IFNα, IFNγ, TGFβ, PGE2, dan IL-I0
Dalam reaksi alergi fase cepat, IL-3, IL-5,
GM-CSF, TNF dan INF terbukti dapat menginduksi atau meningkatkan pelepasan
histamin melalui interaksi IgE- alergen pada sel basofil manusia (lihat Gambar
12-6). Sitokin lain yang mempunyai aktivitas sama pada
sel mast ialah MCAF (monocyte chemotactic and activating factor) dan
RANTES (regulated upon activation normal T expressed and presumably
secreted). Demikian juga SCF (stem cell factor) yaitu
suatu sitokin yang melekat pada reseptor di sel mast yang disebut C-kit, dapat
menginduksi pembebebasan histamin dari sel mast baik dengan atau tanpa melalui
stimulasi antigen.
Pada reaksi alergi fase lambat, IL-3 dan
GM-CSF tidak hanya menarik dan mengaktivasi eosinofil tetapi juga basofil dan
efek kemotaktik sitokin ini lebih nyata dibandingkan dengan komplemen C5a, LTB4
dan PAF. Mekanisme lain sitokin berperan pula dalam menunjang terjadinya reaksi
peradangan pada alergi. GM-CSF, IL-l, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IFN, TNF, NGF (nerve
growth factor) serta SCF berperan dalam pertumbuhan, proliferasi,
pertahanan hidup dan diferensiasi limfosit, eosinofil, basofil, sel mast,
makrofag atau monosit. Pada saat aktivasi, sel-sel ini ditarik ke arah jaringan
yang mengalami peradangan dalam reaksi antigen-antibodi yang ditingkatkan oleh
IL-2, IL-5, GM-CSF, dan EAF (eosinophil activating factor). Keadaan
ini lebih terlihat pada biakan eosinofil manusia dengan GM-CSF bersama
fibroblast. Pada percobaan ini eosinofil menjadi hipodens dan dapat membebaskan
lebih banyak LTC4 bila diaktivasi oleh stimulus seperti fMLP (formil metionil
leukosil fenilalanin).
Reaksi Hipersensitivitas
Tipe II
Reaksi tipe II merupakan reaksi sitotoksik
yang diinduksi oleh kompleks komplemen dengan antibodi sitotoksik IgM atau IgG.
Reaksi ini terjadi sebagai respon terhadap obat yang mengubah membran permukaan
sel. Contoh reaksi ini adalah anemia hemolitik yang disebabkan oleh metildopa
dan penisilin, ataupun trombositopenia yang disebabkan oleh kuinidin. Obat lain
yang bekerja melalui mekanisme ini antara lain sefalosporin, sulfonamida dan
rifampis. Di sini antigen terikat pada sel sasaran. Antibodi dalam hal ini IgE
dan IgM dengan adanya komplemen akan diberikan dengan antigen, sehingga dapat
mengakibatkan hancurnya sel tersebut. Reaksi ini merupakan reaksi yang cepat
menurut Smolin (1986), reaksi allografi dan ulkus Mooren merupakan
reaksi jenis ini.
Reaksi
Hipersensitivitas Tipe III
Di sini antibodi
berikatan dengan antigen dan komplemen membentuk kompleks imun. Keadaan ini
menimbulkan neurotrophichemotactic factor yang dapat menyebabkan
terjadinya peradangan atau kerusakan lokal. Pada umumnya terjadi pada pembuluh
darah kecil. Pengejawantahannya di kornea dapat berupa keratitis herpes
simpleks, keratitis karena bakteri.(stafilokok, pseudomonas) dan jamur. Reaksi
demikian juga terjadi pada keratitis Herpes simpleks. Pada reaksi tipe III iini
terdapat periode laten beberapa hari sebelum gejala timbul, yaitu periode yang
dibutuhkan untuk membentuk kompleks imun yang dapat mengaktivasi komplemen.
Reaksi terkadang baru timbul setelah obat dihentikan. Reaksi tersebut dapat
pula berupa reaksi setempat yang dikenal sebagai reaksi Arthus. Terdapat
pembengkakan dan kemerahan setempat pada tempat antigen berada, misalnya pada
vaksinasi. Reaksi setempat ini terjadi oleh karena penderita telah mempunyai
kadar antibodi yang tinggi sehingga terjadi presipitasi pada tempat masuk
antigen yang terjadi dalam waktu 2 sampai 5 jam setelah pemberian. Manifestasi
utama berupa demam, ruam, urtikaria, limfadenopati dan artralgia. Contoh obat
tersebut antara lain penisilin, salisilat, sulfonamida, klorpromazin,
tiourasil, globulin antilimfositik dan fenitoin.
Penyakit oleh antibodi dan kompleks antigen-antibodi
(reaksi hipersensitivitas tipe ii dan iii)
- Antibodi,
selain IgE, mungkin menyebabkan penyakit dengan berikatan pada target
antigennya yang ada pada permukaan sel atau jaringan (reaksi
hipersensitivitas tipe II) atau dengan membentuk kompleks imun yang
mengendap di pembuluh darah (reaksi hipersensitivitas tipe III)
- Penyakit
hipersensitivitas yang diperantarai oleh antibodi (antibody-mediated)
merupakan bentuk yang umum dari penyakit imun yang kronis pada manusia.
Antibodi terhadap sel atau permukaan luar sel dapat mengendap pada
berbagai jaringan yang sesuai dengan target antigen. Penyakit yang
disebabkan reaksi antibodi ini biasanya spesifik untuk jaringan tertentu.
Kompleks imun biasanya mengendap di pembuluh darah pada tempat turbulansi
(cabang dari pembuluh darah) atau tekanan tinggi (glomerulus
ginjal dan sinovium). Oleh karena itu, penyakit kompleks imun cenderung
merupakan suatu penyakit sistemis yang bermanifestasi sebagai vaskulitis,
artritis dan nefritis.
Sindrom klinik dan pengobatan
Beberapa kelainan hipersensivitas kronik
pada manusia disebabkan atau berhubungan dengan autoantibodi terhadap antigen
jaringan kompleks imun. Tatalaksana dan pengobatan ditujukan terutama untuk
mengurangi atau menghambat proses inflamasi dan kerusakan jaringan yang
diakibatkannya dengan menggunakan kortikosteroid. Pada kasus yang berat,
digunakan plasmapheresis untuk mengurangi kadar autoantibodi atau
kompleks imun yang beredar dalam darah.
Penyakit oleh autoantibodi terhadap antigen jaringan
Penyakit
|
Antigen
target
|
Mekanisme
|
Manifestasi
klinopatologi
|
Anemia hemolitik autoimun
|
Protein membran eritrosit (antigen golongan darah
Rh)
|
Opsonisasi dan fagositosis eritrosit
|
Hemolisis, anemia
|
Purpura trombositopenia autoimun (idiopatik)
|
Protein membran platelet (gpIIb:integrin IIIa)
|
Opsonisasi dan fagositosis platelet
|
Perdarahan
|
Pemfigus vulgaris
|
Protein pada hubungan interseluler pada sel
epidermal (epidemal cadherin)
|
Aktivasi protease diperantarai antibodi, gangguan
adhesi interseluler
|
Vesikel kulit (bula)
|
Sindrom Goodpasture
|
Protein non-kolagen pada membran dasar glomerulus
ginjal dan alveolus paru
|
Inflamasi yang diperantarai komplemen dan reseptor
Fc
|
Nefritis, perdarahan paru
|
Demam reumatik akut
|
Antigen dinding sel streptokokus, antibodi
bereaksi silang dengan antigen miokardium
|
Inflamasi, aktivasi makrofag
|
Artritis, miokarditis
|
Miastenia gravis
|
Reseptor asetilkolin
|
Antibodi menghambat ikatan asetilkolin, modulasi
reseptor
|
Kelemahan otot, paralisis
|
Penyakit Graves
|
Reseptor hormon TSH
|
Stimulasi reseptor TSH diperantarai antibodi
|
Hipertiroidisme
|
Anemia pernisiosa
|
Faktor intrinsik dari sel parietal gaster
|
Netralisasi faktor intrinsik, penurunan absorpsi
vitamin B12
|
Eritropoesis abnormal, anemia
|
Reaksi
Hipersensitivitas Tipe IV
Pada reaksi
hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi (imunitas
humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal
sebagai imunitas seluler. Limfosit T peka (sensitized T lymphocyte)
bereaksi dengan antigen, dan menyebabkan terlepasnya mediator (limfokin) yang
jumpai pada reaksi penolakan pasca keratoplasti, keraton- jungtivitis flikten,
keratitis Herpes simpleks dan keratitis diskiformis. ada reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, limfosit bereaksi langsung dengan antigen,
misalnya pada dermatitis kontak. Obat topikal yang secara antigenik biasanya
berbentuk hapten, bila berikatan dengan protein jaringan kulit yang bersifat
sebagai karier dapat merangsang sel limfosit T yang akan tersensitisasi dan
berproliferasi. Pada pajanan berikutnya, sel T yang sudah tersensitisasi akan teraktivasi
dan mengeluarkan sitokin yang menarik sel radang ke tempat antigen berada
sehingga terjadi reaksi inflamasi. Contoh obat yang sering menimbulkan reaksi
tipe IV antara lain benzil alkohol, derivat merkuri, neomisin, nikel,
antibiotik topikal, krim steroid, antihistamin topikal, anestesi lokal, serta
beberapa zat aditif yang sering terdapat pada obat topikal seperti parabens
atau lanolin.
Penyakit Oleh
Limfosit T (Reaksi Hipersensitivitas Tipe Iv)
Peranan dari limfosit T pada penyakit
imunologis pada manusia telah semakin dikenal dan diketahui. Patogenesis dan
tatalaksana penyakit autoimun pada manusia pada saat ini lebih ditujukan pada
kerusakan jaringan yang disebabkan terutama oleh sel limfosit T.
- Hampir
semua penyakit yang diperantarai T cell disebabkan oleh mekanisme
autoimun. Reaksi autoimun biasanya ditujukan langsung terhadap antigen
pada sel yang distribusinya terbatas pada jaringan organ tertentu. Oleh
karena itu penyakit T cell mediated cenderung
terbatas mengenai organ-organ tertentu dan biasanya tidak bersifat
sistemis. Kerusakan organ juga dapat terjadi menyertai reaksi sel T
terhadap reaksi mikroba, misalnya pada tuberculosis, terdapat reaksi T
cell-mediated terhadap M. tuberculosis, dan reaksi tersebut
menjadi kronik oleh karena infeksinya sulit dieradikasi. Inflamasi
granulomatous yang terjadi mengakibatkan kerusakan jaringan pada tempat
infeksi. Pada infeksi virus hepatitis, virusnya sendiri tidak terlalu
merusak jaringan, tetapi sel limfosit T sitolitik (CTL) yang bereaksi
terhadap hepatosit yang terinfeksi menyebabkan kerusakan jaringan hepar.
- Pada
penyakit yang diperantarai oleh sel T (T cell-mediated),
kerusakan jaringan dapat disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe
lambat yang diperantarai oleh sel T CD4+ atau sel lisis oleh CD8+ CTLs
- Mekanisme
dari kerusakan jaringan sama dengan mekanisme yang digunakan oleh sel T
untuk mengeliminasi sel yang berkaitan dengan mikroba. Sel T CD4+ bereaksi
terhadap antigen pada sel atau jaringan, terjadi sekresi sitokin yang
menginduksi inflamasi dan mengaktivasi makrofag. Kerusakan jaringan
disebabkan oleh sekresi sitokin dari makrofag dan sel-sel inflamasi yang
lain. Sel T CD8+ dapat menghancurkan sel yang berikatan dengan
antigen asing. Pada banyak penyakit autoimun yang diperantarai oleh sel
T, terdapat sel T CD4+ dan sel T CD8+ yang spesifik untuk antigen
diri, dan keduanya berperan pada kerusakan jaringan.
3.
IMUNOLOGI
INFEKSI
Berbagai bentuk mikroorganisme penyebab infeksi dapat
menimbulkan penyakit, yang bila dibiarkan berkembang biak, bahkan dapat
membunuh pejamu. Respons imun yang dibutuhkan sangat bervariasi. Letak infeksi
serta tipe patogen akan menentukan respons imun mana yang efektif. Di antara
patogen terdapat yang dapat mengadakan invasi ke dalam sel pejamu. Manifestasi
penyakit infeksi bukan hanya merupakan akibat langsung ulah patogenrobial,
namun juga interaksinya dengan sistem imun pejamu. Respons imun terhadap
patogen ekstraselular dan intraseluler berbeda. Sistem imun pada patogen
ekstraselular ditujukan untuk menghancurkan patogen serta menetralisir
produknya, pada patogen intraseluler sel T dapat menghancurkan sel yang
terinfeksi, dalam kata lain sitotoksik, atau dapat mengaktivasi sel untuk
menghadapi patogen. Pada infeksi bakteri antibiotik digunakan secara luas sebagai
obat-obat bakteriostatik atau bakteriosidik, namun infeksi bakteri intraseluler
belum dapat tertangani dengan mantap. Hal ini ini sebagian berasal dari
ketidak-mampuan obat untuk mencapai organisme penyebab dan/atau bekerja secara
efektif dalam lingkungan intraseluler.
Bakteri Intraseluler
Secara umum bakteri yang dapat masuk dan tetap hidup dalam
sel eukariositik terlindung dari antibodi humoral dan hanya dapat dieliminasi
oleh respons imun seluler. Bakteri ini harus memiliki mekanisme khusus untuk
memproteksi dirinya dari dampak ensim- ensim lisosomal dalam sel. Terdapat 3 kelompok bakteri dipandang dari
sisi kemampuan invasi ke dalam sel eukariositik yaitu bakteri intraseluler
fakultatif, bakteri intraseluler obligat, dan bakteri ekstraseluler. Termasuk
dalam kelompok intraseluler fakultatif adalah Salmonella spp, Shigella
spp, Legionella pneumophili, Invasive Escherichia coli, Neisseria spp
Mycobacterium spp, Listeria monocytogenes, Bordetella pertussis. Dalam
kelompok intraseluler obligat termasuk Rickettsia spp, Coxiella burnetti,
Chlamydia spp. Sebagai contoh bakteri ekstraseluler adalah Mycoplasma
spp, Pseudomonas aeruginosa, Enterotoxigenic Escherichia coli, Vibrio
cholerae, Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes, Haemophylus
influenzae, Bacillus anthracis.
Respons Pejamu Terhadap Infeksi
Pertahanan tubuh terhadap infeksi dengan mikroorganisme
patogen terjadi dengan berbagai cara. Pertama, pertahanan non-spesifik (innate)
dengan mengeluarkan agen infeksi atau membunuhnya pada kontak pertama.
Bilamana patogen menimbulkan infeksi, berbagai respons non-adaptif dini penting
untuk mengendalikan infeksi dan mempertahankan pengawasan terhadapnya, sampai
terbentuk respons imun adaptif. Respons imun adaptif memerlukan waktu beberapa
hari, mengingat limfosit T dan B harus menemukan antigen spesifik untuk
mengadakan proliferasi, dan berdiferensiasi menjadi sel efektor. Respons sel B
yang tergantung pada sel T (T-cell dependent B-cell responses) tidak
akan dapat dimulai sebelum sel mempunyai kesempatan untuk mengadakan
proliferasi dan diferensiasi. Terdapat perbedaan mendasar antara respons imun
terhadap patogen ekstraselular dan intraseluler. Bagi patogen ekstraselular
sistem imun ditujukan untuk menghancurkan pathogen-nya sendiri serta menetralisir
produknya. Dalam merespons patogen intraseluler terdapat 2 pilihan, sel T dapat
bersifat sitotoksik menghancurkan sel yang terinfeksi, atau dapat mengaktivasi
sel untuk menghadapi patogen tersebut. Sebagai contoh, adalah sel penolong T (helper
T cells) melepas sitokin yang akan mengaktivasi makrofag untuk
menghancurkan organisme yang telah mengalami endositosis. Banyak patogen
memiliki fase infeksi intraseluler dan ekstraselular, dan mekanisme respons
imun yang efektif akan berbeda dari waktu ke waktu. Berikut akan dibicarakan
sekilas tentang respons imun secara umum.
Imunitas Non-Spesifik (Innate Immune Response)
Respons ini terjadi segera tanpa memerlukan kontak dengan
mikroba sebelumnya; dengan kata lain merupakan pertahanan pertama bagi
tubuh. Respons innate tidak
spesifik, dan berlaku bagi setiap patogen. Respons terhadap bakteri yang
mengadakan invasi disertai proses inflamasi pada tempat infeksi dimana cairan, sel,
bahan-bahan yang terlarut merembes keluar dari darah menuju jaringan. Kejadian
ini disertai kemerahan setempat, pembengkakan, serta demam. Inflamasi bertujuan
memusatkan agen pertahanan tubuh ke lokasi yang membutuhkan. Selama inflamasi
sel-sel fagosit seperti neutrofil dan makrofag, meninggalkan aliran darah dan
bermigrasi menuju tempat infeksi sebagai respons tehadap kemikal (chemoattractants)
yang dilepaskan di tempat tersebut. Sesampainya pada tempat tersebut, sel-sel
fagosit mengenali, menelan (engulf), serta menghancurkan patogen. Darah
juga mengandung rangkaian protein terlarut yang dinamakan komplemen, yang dapat
melubangi membran plasma sel bakteri, dengan akibat lisis dan kematian sel.
Respons imun innate terutama efektif terhadap bakteri tertentu, yang
pada dinding selnya terdapat polisakharida unik sehingga segera dikenali sel pejamu
sebagai asing. Pada respons innate
terhadap patogen intraseluler, seperti virus, sasaran utama adalah sel-sel
yang sudah terinfeksi. Sel terinfeksi virus tertentu dikenali oleh limfosit
non-spesifik, disebut sel natural
killer (NK). Sesuai dengan namanya, sel NK mengakibatkan kematian sel yang
terinfeksi dengan menginduksi sel terinfeksi menuju apoptosis. Sel NK juga
membunuh sel kanker tertentu (in vitro) dan melengkapi dengan mekanisme
menghancurkan sel sebelum sel berkembang menjadi tumor. Sel normal (tidak
terinfeksi dan tidak ganas) mengandung molekul permukaan yang melindungi
terhadap serangan sel NK. Respons antivirus lain dimulai dalam sel yang
terinfeksi sendiri. Sel terinfeksi virus ini memproduksi interferon-α (IFN-α)
yang disekresi ke dalam ruang ekstraseluler, dimana akan terikat pada permukaan
sel yang tidak terinfeksi sehingga kebal terhadap infeksi berikutnya. Cara
kerja interferon ini adalah dengan cara mengaktivasi suatu sinyal transduction
pathway dengan akibat phosphorilasi yang diikuti translasi faktor elF2. Sel
yang mengalami respons ini tidak dapat mensintesa protein virus yang diperlukan
untuk replikasi virus.
Respons Imun Adaptif
Respons imun adaptif memerlukan waktu agar dapat
mempersiapkan sistem imun untuk menghadapi agen asing. Respons ini sangat
spesifik, dan hanya ditujukan untuk molekul-molekul yang spesifik pada
bahan-bahan asing. Sebagai contoh, darah seseorang yang baru sembuh dari sakit
campak mengandung antibodi yang mengadakan reaksi dengan virus campak. Berbeda
dengan imunitas innate terhadap mikroba dan parasit yang dimiliki oleh
semua binatang, hanya vertebrata yang dapat membentuk imunitas adaptif. Respons imun didapat dibagi dalam 2 kategori
yaitu imunitas humoral, yang dilaksanakan oleh antibodi (protein dalam darah
yang tergolong dalam superfamili imunoglobulin), dan imunitas dimediasi sel,
yang dilaksanakan oleh sel. Kedua tipe
imunitas didapat ini dimediasi oleh limfosit, yaitu leukosit berinti, yang
beredar di antara darah dan organ limfoid. Imunitas humoral dimediasi oleh
sel-B (limfosit-B), yang setelah diaktivasi mengsekresi antibodi. Antibodi
ditujukan terutama pada pada bahan asing di luar sel pejamu. Termasuk disini
komponen protein dan polisakharida dinding sel bakteri, toksin bakteri, dan
protein sampul virus. Dalam beberapa kasus antibodi dapat terikat pada toksin
bakteri atau partikel virus, sekaligus mencegah nya umtuk masuk ke dalam sel
pejamu. Selain itu antibodi dapat berfungsi sebagai molecular tags yang
terikat pada patogen yang masuk dan menandainya untuk dimusnahkan. Sel bakteri
yang dilapisi molekul antibodi cepat dicerna oleh makrofag yang berkeliling (wandering)
atau dihancurkan molekul komplemen yang diangkut dalam darah. Antibodi tidak
efektif untuk patogen intraseluler, sehingga diperlukan sistem senjata tipe ke
dua. Imunitas dimediasi sel dilaksanakan
oleh limfosit T (sel-T), yang bila teraktivasi dapat secara spesifik mengenal
serta membunuh sel terinfeksi (atau asing).
Sel Penolong T 1 (T Helper 1) / Sel Penolong T 2 (T
Helper 2)
Berikut akan dibahas sekilas tentang sel-sel T yang berperan
sebagai penghantar imunitas yang dimediasi sel dalam respons imun
adaptif yang digunakan untuk mengontrol patogen intraseluler serta meregulasi
respons sel B. Dalam proses ini termasuk aktivasi sel imun lainnya dengan
pelepasan sitokin. Terdapat 2 subset utama limfosit, yang dibedakan dengan
keberadaan molekul (petanda) permukaan CD4 dan CD8. Limfosit T yang
mengekspresikan CD4 juga dikenal sebagai sel T penolong, penghasil sitokin
terbanyak. Subset ini dibagi lagi menjadi Th1 dan Th2, dan sitokin yang
dihasilkan disebut sebagai sitokin tipe Th1 dan sitokin tipe Th2. Sitokin tipe
Th1 cenderung menghasilkan respons proinflamatori yang bertanggung jawab
terhadap killing parasit intraseluler dan mengabadikan respons autoimun.
Termasuk dalam sitokin tipe Th1 ini terutama interferon gamma, selain
interleukin-2, serta limfotoksin-α yang merangsang imunitas tipe 1, ditandai
aktivitas fagositik yang kuat. Respons proinflamatori yang berlebihan akan
mengakibatkan kerusakan jaringan yang tidak terkontrol. Tubuh mempunyai suatu
mekanisme untuk menetralkan aksi mikrobisidal berlebih yang dimediasi Th1 ini,
yaitu dengan respons Th2. Sitokin yang termasuk dalam mekanisme Th2 ini adalah
interleukin 4, 5, 9, dan 13, yang disertai IgE dan respons eosinofilik dalam
atopi, dan juga interleukin-10, dengan respons yang lebih bersifat
anti-inflamatori. Imunitas tipe 2 yang distimulasi Th2 ditandai dengan kadar
antibodi tinggi. Bagi kebanyakan infeksi, imunitas tipe 1 bersifat protektif,
sedang respons tipe 2 membantu resolusi inflamasi yang dimediasi sel. Stres
sistemik yang berat, imunosupresi, atau inokulasi mikrobial yang berlebihan (overwhelming)
mengakibatkan sistem imun meningkatkan respons tipe 2 terhadap infeksi yang
seyogyanya dikendalikan oleh imunitas tipe 1. Apakah prekursor sel-T penolong
akan menjadi sel tipe 1 atau tipe 2 tergantung pada beberapa faktor, yaitu yang
dipandang dari sudut patogen seperti sifat dan kuantitas patogen, route
infeksi, pengaruh komponen imunomodulator serta infeksi bersamaan, serta factor
pejamu termasuk predisposisi genetik, jumlah sel-T yang merespon, kompleks histokompatiliti
mayor haplotype individu, sifat sel yang mempresentasikan antigen, serta lingkungan
sitokin sel-T selama dan pasca aktivasi.
Cytokine-Signaling pada Respons Imun
Sitokin diproduksi selama aktivasi imunitas innate dan
didapat (adaptif), dan merupakan alat komunikasi antar sel yang prinsipiil
tentang adanya invasi bakteri. Sitokin yang memulai repons inflamatori dan
menentukan besaran serta sifat respons imun yang didapat. Pada penderita sakit
berat respons terhadap injuri / patogen yang mengadakan invasi sebagian besar
tergantung pada pola sitokin yang diproduksi. Respons imun bervariasi dari
respons proinflamatori yang hebat, ditandai dengan meningkatnya produksi TNF-α,
interleukin-1, interferon-γ, dan, IL-12, sampai keadaan anergi, ditandai
peningkatan produksi sitokin Th2, seperti IL-10 dan IL-4.
Regulasi cytokine signaling pada respons imun dapat
diringkas sebagai berikut: Respons imun
spesifik diklasifikasikan berdasar komponen sistem imun yang memediasi:
imunitas humoral dimediasi limfosit B, dan imunitas dimediasi sel terutama
dimediasi limfosit T. Selanjutnya sel T efektor dibagi menjadi sel T sitotoksik
(CD8+) atau sel T helper (CD4+). Sel CD8+ melakukan killing terhadap
sel sasaran (target) yang terinfeksi dengan cara melepas lytic
granula (perforin, granzymes) atau dengan cara induksi produksi (FasL) atau
TNF-α, yang melalui ikatan dengan reseptornya memulai suatu kaskade bunuh diri
sel menuju apoptosis sel sasaran. Sel-sel CD4+ dapat berdiferensiasi menjadi 2
tipe sel efektor: Th1 dan Th2, tergantung pada pola pelepasan sitokin. Sel Th2
mengsekresi IL-4, IL-5, dan IL-10, kesemuanya mengaktivasi proliferasi sel B
serta memacu respons imun humoral. Di sisi lain sel Th1 mengsekresi IFN-γ, yang
merupakan sitokin macrophage-activating primer
Infeksi Bakteri Intraseluler
Bagaimana pejamu merespons terhadap patogen intraseluler
antara lain tergantung pada lokasi bermukimnya patogen tersebut. Setelah
terjadi fagositosis oleh makrofag, bakteri berada dalam fagosom, namun kejadian
selanjutnya tergantung pada strategi untuk mempertahankan hidup bagi bakteri
masing-masing. Penyesuaian aktivasi sel pejamu yang diinduksi oleh efek
mikrobisidal dapat berakibat bakteri intraseluler bertahan hidup atau mati.
Berbagai imunomodulator, yaitu sitokin, dapat meningkatkan kemampuan
antimicrobial fagosit, sehingga pembersihan bakteri intraseluler tejadi secara
efisien dan cepat. Dalam hal bakteri tidak mempunyai mekanisme survival,
fagosom yang mengandung bakteri akan mengadakan fusi dengan kompartemen
lisosom, dan bakteri dicerna dalam waktu 15-30 menit. Berbagai bakteri memiliki
strategi yang berbeda-beda untuk memagari diri terhadap intracellular
killing oleh fagosit yang tidak teraktivasi (resting phagocytes).
Patogen dapat mengadakan replikasi dalam sitoplasma (cytosolic pathogens),
termasuk di sini adalah Listeria. Selain itu terdapat patogen yang
berada dalam endosom (endosomal pathogens), seperti Legionella
pneumophila, Mycobacterium tuberculosis, Salmonella typhimurium,Listeria
monocytogenes.
Intracellular Killing
Aktivitas antimikrobial fagosit dimediasi oleh
mediator-mediator yang bervariasi secara luas, dan dapat dikelompokkan dalam
mekanisme oksidatif dan non-oksidatif. Mekanisme oksidatif dimediasi oleh
produksi reactive oxygen intermediates (ROIs) dan reactive nitrogen
intermediates (RNIs). Produksi ROIs dan RNIs membekali fagosit dengan
aktivitas sitostatik atau sitotoksik terhadap virus, bakteri, jamur, cacing,
dan sel tumor. Dalam mekanisme non-oksidatif termasuk asidifikasi fagosomal,
perampasan nutrien (nutritional deprivation ) dan perlakuan
polipeptida mikrobisid (hidrolase lisosomal dan defensin). Jalur oksidatif dan
non-oksidatif ini dapat berjalan sendiri-sendiri atau bersamaan demi
terwujudnya suatu lingkungan yang tidak menunjang bagi kehidupan patogen
selanjutnya. Fagosit harus diaktivasi, sedikitnya oleh sitokin, agar dapat
mengekspresikan satu atau lebih di antara mediator-mediator tersebut untuk
mengendalikan infeksi intraseluler. Berbagai sitokin dan faktor-faktor terlarut
yang dimediasi sitokin memegang peran penting dalam mengendalikan atau membunuh
patogen intraseluler oleh fagosit, dalam pertahanan dini pejamu. Cara kerja
sitokin pada lalu lintas bakteri intraseluler belum diketahui dengan jelas.
Sitokin-sitokin tertentu dapat menyebabkan Listeria monocytogenes,
Mycobacterium avium, Legionella pneumophila, dan Chlamydia spp tidak
dapat lolos dari sasaran dalam lisosom. Sebagai contoh, interferon-γ
menghalangi L. monocytogenes untuk melarikan diri ke dalam Bordetella pertussis, Rickettsia
prowazekii, Mycobacterium avium, Pseudomonas aeruginosa, serta
patogen fungi. Sitokin lain seperti TNF-α,(19) IL-12,(10) TNF-β,(21) IL-21, granulocyte
colony- stimulating factor dan granulocyte-macrophage colony-
stimulating factor dapat meningkatkan kadar produk oksigen reaktif dan NO
yang dilepaskan oleh sel-sel fagositik. Di
sisi lain, sitokin Th2 memegang peran penting dalam supresi oxidative burst dalam
fagosit, sehingga menunjang pertumbuhan patogen dalam sel serta patogenesis
penyakit infeksi. Sebagai contoh, IL-4 menghambat produksi anion hidrogen
peroksida dan superoksida dalam monosit (yang telah diaktivasi dengan IFN-γ
atau TNF-α), dan menekan aktivitas antifungal lekosit mononuklear terhadap Candida
albicans. Interleukin-4 dan IL-13 meningkatkan fagositosis yang dimediasi
reseptor mannose,14 mekanisme yang dianut patogen untuk menyelamatkan diri dari
ancaman intracellular killing. Interleukin-10 merupakan sitokin lain
yang meniadakan aktivasi makrofag, menghambat pembebasan hidrogen peroksida, mengurangi
imunitas antimycobacterial dan antilisterial, meningkatkan pertumbuhan Legionella
pneumophila dalam fagosit manusia dan membalik efek protektif interferon-γ terhadap
patogen ini. Interleukin-10 juga menekan aktivitas bakterisidal monosit manusia
terhadap Staphylococcus aureus dan C. albicans. Sitokin penghambat
tersebut penting karena mengurangi oxidative burst agar jaringan normal
terlindung dari kerusakan yang disebabkan ROIs serta RNIs yang toksik, namun
dapat pula meningkatkan replikasi bakteri.
Respons Imun Selular Dalam Klinik
Dalam klinik respons imun selular ini dapat kita lihat
berupa hipersensitivitas kulit tipe lambat, imunitas selular pada penyakit
infeksi mikroorganisme intraselular (bakteri, virus, jamur) serta penyakit
parasit dan protozoa, imunitas selular pada penyakit autoimun, reaksi graft
versus host, penolakan jaringan transplantasi, dan penolakan sel tumor.
- Hipersensitivitas kulit tipe
lambat (reaksi tipe IV) Dalam klinik reaksi tipe IV dapat kita lihat berupa
reaksi pada kulit bila seseorang yang pernah kontak dengan antigen
tertentu (seperti bakteri mikobakterium, virus, fungus, obat atau antigen
lainnya) kemudian dipaparkan kembali dengan antigen tersebut pada
kulitnya. Terlihat reaksi berupa eritema, indurasi pada kulit atau
peradangan pada tempat antigen berada setelah satu sampai beberapa hari
kemudian. Secara histologis kelainan kulit ini terdiri atas
infiltrasi sel mononuklear yaitu makrofag, monosit dan limfosit di sekitar
pembuluh darah dan saraf. Reaksi tipe IV ini umumnya dapat terlihat pada
respons imun infeksi mikroorganisme intraselular, juga pada reaksi
penolakan jaringan yang memperlihatkan peradangan pada tempat
transplantasi, dan pada reaksi penolakan tumor.
- Imunitas selular pada infeksi
bakteri Imunitas selular pada infeksi bakteri misalnya terlihat
berupa pembentukan kavitas dan granuloma pada infeksi dengan Mycobacterium
tuberculosis, demikian pula lesi granulomatosa pada kulit penderita
lepra. Limfokin yang dilepaskan sel Td mengakibatkan terjadinya granuloma
dan sel yang mengandung antigen akan mengalami lisis oleh sel Tc dan sel killer
lainnya.
- Reseptor antigen sel limfosit T
(TCR) Molekul
TCR terdapat pada membran sel T berasosiasi dengan molekul CD3, merupakan
kompleks glikoprotein transmembran. Sebagian besar dari molekul ini berada
ekstraselular dan merupakan bagian pengenal antigen. Sedangkan bagian
transmembran merupakan tempat berlabuhnya TCR pada membran sel yang
berinteraksi dengan bagian transmembran molekul CD3.
- Imunitas selular pada infeksi
virus Imunitas
selular pada infeksi virus sangat berperan pada penyembuhan yaitu untuk
melisis sel yang sudah terinfeksi. Ruam kulit pada penyakit campak, lesi
kulit pada penyakit cacar dan herpes simpleks juga merupakan reaksi tipe
IV dan lisis oleh sel Tc.
- Imunitas selular pada infeksi
jamur Peradangan pada infeksi jamur seperti kandidiasis,
dermatomikosis, koksidiomikosis dan histoplasmosis merupakan reaksi
imunitas selular. Sel TC berusaha untuk melisis sel yang telah terinfeksi
jamur dan limfokin merekrut sel-sel radang ke tempat jamur berada.
- Imunitas selular pada penyakit
parasit dan protozoa Peradangan yang terlihat pada penyakit parasit dan
protozoa juga merupakan imunitas selular. Demikian pula pembentukan
granuloma dengan dinding yang menghambat parasit dari sel host sehingga
penyebaran tidak terjadi.
- Imunitas selular pada penyakit
autoimun Meskipun
dalam ontogeni sel T autoreaktif dihancurkan dalam timus, dalam keadaan
normal diperkirakan bahwa sel T autoreaktif ini masih tetap ada, tetapi
dalam jumlah kecil dan dapat dikendalikan oleh mekanisme homeostatik. Jika
mekanisme homeostatik ini terganggu dapat terjadi penyakit autoimun. Kunci
sistem pengendalian homeostatik ini adalah pengontrolan sel T
penginduksi/Th. Sel T penginduksi/Th dapat menjadi tidak responsif
terhadap sel T supresor, sehingga merangsang sel T autoreaktif yang masih
bertahan hidup atau sel Tc kurang sempurna bekerja dalam penghapusan klon
antara lain karena gagalnya autoantigen dipresentasikan ke sel T. Jika ada
gangguan sel T supresor atau gagal menghilangkan sel T autoreaktif atau
gagal mempresentasikan autoantigen pada masa perkembangan, maka dapat
terjadi penyakit autoimun.
- Imunitas selular pada reaksi graft
versus host Pada reaksi graft versus host, kerusakan yang
terlihat disebabkan oleh sel imunokompeten donor terhadap jaringan
resipien. Reaksi tersebut berupa kelainan pada kulit seperti
makulopapular, eritroderma, bula dan deskuamasi, serta kelainan pada hati
dan traktus gastrointestinal. Kelainan yang timbul juga disebabkan oleh
imunitas selular.
- Imunitas selular pada penolakan
jaringan Pada
transplantasi jaringan dapat terlihat bahwa jaringan yang tadinya mulai
tumbuh, setelah beberapa hari berhenti tumbuh. Ini disebabkan oleh reaksi
imunitas selular yang timbul karena adanya antigen asing jaringan
transplantasi. Organ transplantasi menjadi hilang fungsinya. Secara
histologis terlihat adanya infiltrasi intensif sel limfoid, sel
polimorfonuklear dan edema interstisial. Dapat dilihat terjadinya iskemia
dan nekrosis. Peradangan ini disebabkan karena sel T resipien mengenal
antigen kelas I dan II donor yang berbeda dengan antigen diri. Pengenalan
ini sama seperti pengenalan antigen asing di antara celah domain molekul
MHC. Terjadi lisis alograft oleh sel TC resipien. Demikian pula limfokin
yang dilepaskan sel T akan merusak alograft dengan merekrut sel radang.
- Imunitas selular pada penolakan
tumor Imunitas selular pada penolakan tumor sama dengan
imunitas selular pada penolakan jaringan transplantasi. Tentu saja
imunitas selular ini bukanlah satu-satunya cara untuk menghambat
pertumbuhan sel tumor, imunitas humoral juga dapat berperan. Adanya
ekspresi antigen tumor akan mengaktifkan sel Tc host demikian pula
interferon yang dilepaskan sel T juga akan mengaktifkan sel NK (natural
killer) untuk melisis sel tumor. Limfokin akan merekrut sel
radang ke tempat tumor berada dan menghambat proliferasi tumor serta
melisis sel-sel tumor.
4.
MEKANISME AUTOIMUN
Autoimunitas
adalah kegagalan suatu organisme
untuk mengenali bagian dari dirinya sendiri sebagai bagian dari dirinya, yang
membuat respon kekebalan
melawan sel
dan jaringan
miliknya sendiri. Beberapa penyakit yang dihasilkan dari kelainan respon
kekebalan ini dinamakan penyakit autoimun.
Contohnya meliputi penyakit Coeliac,
diabetes
melitus tipe 1, Systemic Lupus Erythematosus,
Sjögren's
syndrome, Churg-Strauss
Syndrome, Hashimoto's
thyroiditis, Graves' disease,
idiopathic
thrombocytopenic purpura, dan rheumatoid arthritis
(RA).
Kesalahan yang menyebabkan sistem kekebalan melawan suatu individu
yang seharusnya dilindunginya bukanlah hal yang baru. Paul
Ehrlich pada awal abad ke 20 mengajukan konsep horror autotoxicus, di
mana jaringan suatu organisme dimakan oleh sistem kekebalannya sendiri. Semua
respon autoimun dulunya dipercaya sebagai hal yang abnormal dan dikaitkan
dengan suatu kelainan. Namun saat ini diketahui bahwa respon autoimun adalah
bagian terpisah dari sistem kekebalan vertebrata,
umumnya untuk mencegah terjadinya penyakit yang disebabkan oleh toleransi imunologikal
terhadap antigen
milik sendiri. Autoimunitas berbeda dengan aloimunitas.
Sistem imun tubuh kita telah berkembang sedemikian rupa
sehingga mampu mengenal setiap antigen asing dan membedakannya dengan struktur
antigen diri (self antigen), tetapi dapat saja timbul gangguan terhadap
kemampuan pengenalan tersebut sehingga terjadi respons imun terhadap antigen
diri yang dianggap asing. Respons imun yang disebut autoimunitas tersebut dapat
berupa respons imun humoral dengan pembentukan autoantibodi, atau respons imun
selular.
Autoimunitas sebetulnya bersifat protektif, yaitu sebagai
sarana pembuangan berbagai produk akibat kerusakan sel atau jaringan.
Autoantibodi mengikat produk itu diikuti dengan proses eliminasi. Autoantibodi
dan respons imun selular terhadap antigen diri tidak selalu menimbulkan
penyakit.
Penyakit autoimun merupakan kerusakan jaringan atau gangguan
fungsi fisologik akibat respons autoimun. Perbedaan ini menjadi penting karena
respons autoimun dapat terjadi tanpa penyakit atau pada penyakit yang
disebabkan oleh mekanisme lain (seperti infeksi). Istilah penyakit autoimun
yang berkonotasi patologik ditujukan untuk keadaan yang berhubungan erat dengan
pembentukan autoantibodi atau respons imun selular yang terbentuk setelah
timbulnya penyakit. Penyakit autoimun mempunyai spektrum yang sangat luas, dari
yang bersifat organ spesifik sampai bentuk sistemik atau non-organ spesifik.
Pada penyakit autoimun organ spesifik, umumnya mempengaruhi organ tunggal dan
respons autoimun ditujukan langsung pada antigen di dalam organ tersebut.
Sebagian besar kelainan spesifik organ melibatkan satu atau beberapa kelenjar
endokrin. Target antigen dapat berupa molekul yang diekspresikan pada permukaan
sel hidup (terutama reseptor hormon) atau molekul intraseluler (terutama enzim
intraseluler). Sedangkan penyakit autoimun non-organ spesifik mempengaruhi
organ multipel dan biasanya berkaitan dengan respons autoimun terhadap molekul
yang tersebar di seluruh tubuh, terutama molekul intraseluler yang berperan
dalam transkripsi dan translasi kode genetik (DNA dan unsur inti sel lainnya).
Autoimunitas dan toleransi diri
Untuk menghindari penyakit autoimun, pembentukan molekul sel
T dan B yang bersifat autoreaktif harus dicegah melalui eliminasi atau down-regulation.
Sel T (terutama CD4+) mempunyai peran sentral dalam mengatur hampir semua
respons imun, sehingga proses toleransi sel T lebih penting dalam penghindaran
autoimunitas dibandingkan toleransi sel B. Selain itu, sebagian sel B yang autoreaktif
juga tidak dapat memproduksi autoantibodi apabila tidak menerima rangsangan
yang tepat dari sel Th.
Toleransi timus
Perkembangan sel T di timus mempunyai peranan penting dalam
eliminasi sel T yang dapat mengenali peptida pada protein diri. Dengan proses positive
selection, sel akan bertahan melalui ikatan dengan molekul MHC. Ikatan ini
akan menginduksi sinyal yang mencegah sel mati. Reseptor sel T yang gagal
berikatan dengan molekul MHC di timus akan mati melalui apoptosis. Sel T yang
bertahan dari proses ini akan berikatan dengan molekul MHC dan kompleks peptida
diri yang ada di timus dengan afinitas yang berbeda-beda. Sel T yang mempunyai
afinitas yang rendah akan bertahan dan berpotensial untuk mengikat MHC dan
peptida asing dengan afinitas tinggi serta dapat menginisiasi respons imun
protektif nantinya. Namun sel T yang berikatan dengan MHC dan peptida diri di
timus dengan afinitas tinggi mempunyai potensial untuk pengenalan dengan
antigen diri di tubuh, dengan konsekuensi induksi autoimunitas. Sel-sel dengan
afinitas tinggi tersebut dieliminasi melalui proses negative selection.
Proses-proses diatas disebut edukasi timus. Alasan gagalnya toleransi timus
adalah banyaknya peptida diri yang tidak diekspresikan dengan kadar yang cukup di
timus untuk menginduksi negative selection. Sebagian besar peptida yang
berikatan dengan MHC di timus berasal baik dari protein intraseluler atau
terikat membran yang ada dimana-mana, ataupun protein yang ada di cairan
ekstraseluler, sehingga toleransi timus tidak diinduksi terhadap protein
spesifik jaringan.
Toleransi perifer
Terdapat beberapa mekanisme terjadinya toleransi perifer
yang merupakan kontrol lini kedua dalam mengatur sel autoreaktif
Ignorance
Proses immunological ignorance terjadi karena
keberadaan antigen terasing di organ avaskular, seperti humor viterus pada
mata. Antigen tersebut secara efektif tidak “terlihat” oleh sistem imun.
Apabila antigen tersebut lolos dari organ tersebut, maka toleransi perifer
aktif akan berkembang. Proses ini terjadi karena sel T CD4+ hanya mengenali
angtigen yang dipresentasikan melalui molekul MHC II. Dengan distribusi yang
terbatas dari molekul tersebut, maka sebagian besar molekul spesifik organ
tidak akan dipresentasikan dengan kadar yang cukup untuk menginduksi aktivasi
sel T
Pemisahan sel T autoreaktif dengan autoantigen
Antigen diri dan limfosit juga terpisah oleh sirkulasi
limfosit yang terbatas. Sirkulasi ini membatasi limfosit naive ke jaringan
limfoid sekunder dan darah. Untuk mencegah antigen diri mempunyai akses ke antigen-presenting
cells, debris dari jaringan diri yang rusak perlu dibersihkan secara cepat
dan dihancurkan, melalui apoptosis dan mekanisme pembersihan debris lainnya,
termasuk sistem komplemen dan fagositosis. Defek komplemen dan fagosit
berkaitan dengan perkembangan autoimunitas terhadap molekul intraseluler.
Anergi dan kostimulasi
Mekanisme toleransi perifer yang aktif meliputi delesi sel
autoreakitf melalui apoptosis atau induksi keadaan anergi (tidak respons). Sel T
CD4+ naive memerlukan dua sinyal untuk menjadi aktif dan memulai respons imun.
Sinyal pertama berupa sinyal spesifik antigen melalui reseptor antigen di sel
T. Sinyal kedua berupa sinyal non-spesifik ko-stimulasi, biasanya sinyal oleh
CD28 (pada sel T) yang terikat ke salah satu lingkup B7 (CD80 atau CD86) pada
stimulator. Oleh karena itu, meskipun terdapat pengenalan sel T terhadap
molekul peptida spesifik jaringan atau kompleks MHC, namun bila tidak terdapat
ikatan dengan molekul ko-stimulator, maka stimulasi melalui reseptor sel T akan
berujung pada anergi atau kematian sel T melalui apoptosis (Gambar 15-2).
Ekspresi molekul ko-stimulator ini sangat terbatas. Sinyal stimulator juga
terbatas pada antigen-presenting cells seperti sel dendritik. Dengan adanya
distribusi yang terbatas dan pola resirkulasi, interaksi sel CD4+ dengan sel
dendritik hanya terjadi di jaringan limfoid sekunder seperti nodus limfe.
Ekspresi molekul ko-stimulator dapat diinduksi melalui beberapa cara, biasanya
melalui inflamasi atau kerusakan sel. Namun, dengan adanya restriksi pola
resirkulasi limfosit, maka hanya sel yang telah teraktivasi sebelumnya yang
mempunyai akses ke lokasi perifer.
Sel T teraktivasi juga dapat mengekspresikan molekul permukaan yang mempunyai
struktur serupa dengan molekul ko-stimulator, namun mempunyai efek negatif
terhadap aktivasi sel T, yaitu CTLA-4 yang mempunyai struktur serupa dengan
CD28 dan mengikat ligand yang sama. Ikatan antara CD80 atau CD86 dengan CTLA4
menginduksi anergi atau kematian melalui apoptosis (Gambar 15-2). Adanya defek
genetik pada mekanisme apoptosis dapat berakibat pada berkembangnya
autoimunitas.
Supresi
Mekanisme toleransi perifer termasuk supresi aktif dari sel
T autoreaktif melalui penghambatan populasi sel T yang dapat mengenali antigen
yang sama (sel T supresor)
Toleransi sel B
Toleransi sel B bekerja pada sistem perifer. Produksi
antibodi autoreaktif dibatasi terutama oleh kurangnya sel T yang membantu dalam
antigen diri. Sel B baru akan terus dibentuk secara kontinu dari prekursor
sumsum tulang dan banyak diantaranya bersifat autoreaktif. Adanya proses
hipermutasi somatik gen imunoglobulin pada sel B matur di pusat germinal nodus
limfe juga dapat menghasilkan autoantibodi. Apabila sel B baru atau hipermutasi
sel B berikatan dengan antigen yang sesuai, namun tidak terdapat bantuan sel T,
maka sel B akan mengalami apoptosis atau anergi.
Penyebab Autoimunitas
Etiologi
Interaksi antara genetik dan faktor lingkungan penting dalam
penyebab penyakit autoimun.
Faktor genetik
Penyakit autoimun multipel dapat berada dalam satu keluarga
dan autoimun yang bersifat subklinis lebih umum terdapat dalam anggota keluarga
dibandingkan penyakit yang nyata. Peran genetik dalam penyakit autoimun hampir
selalu melibatkan gen multipel, meskipun dapat pula hanya melibatkan gen
tunggal. Beberapa defek gen tunggal ini melibatkan defek pada apoptosis atau
kerusakan anergi dan sesuai dengan mekanisme toleransi perifer dan
kerusakannya. Hubungan antara gen dengan autoimunitas juga melibatkan varian
atau alel dari MHC.
Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yang diidentifikasi sebagai kemungkinan
penyebab antara lain hormon, infeksi, obat dan agen lain seperti radiasi
ultraviolet.
Hormon
Observasi epidemilogi menunjukkan penyakit autoimun lebih
sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Sebagian besar penyakit
autoimun mempunyai puncak usia onset dalam masa reproduktif, dengan beberapa
bukti klinis dan eksperimental menyebutkan estrogen sebagai faktor pencetus.
Mekanisme yang mendasarinya belum jelas, namun bukti menunjukkan estrogen dapat
menstimulasi beberapa respons imun. Contohnya insidens penyakit LES pada wanita
pasca pubertas 9 kali lebih tinggi daripada pria. Belum ada penjelasan tentang
hal ini tetapi studi klinis dan eksperimental pada manusia dan hewan percobaan
memperlihatkan bahwa kecenderungan tersebut lebih ditentukan oleh hormon sel
wanita daripada gen kromosom X. Hewan betina, atau jantan yang dikastrasi,
memperlihatkan kadar imunoglobulin dan respons imun spesifik yang lebih tinggi
daripada jantan normal. Stimulasi estrogen kronik mempunyai peran penting
terhadap prevalensi LES pada wanita. Walaupun jumlah estrogen pada penderita
tersebut normal, aktivitas estradiol dapat meningkat akibat kelainan pola
metabolisme hormon wanita. Pada wanita penderita LES terdapat peninggian
komponen 16α-hidroksil dari 16α-hidroksiestron dan estriol serum dibandingkan
dengan orang normal. Hormon hipofisis prolaktin juga mempunyai aksi
imunostimulan terutama terhadap sel T.
Infeksi
Hubungan infeksi dengan autoimun tidak hanya berdasar pada
mekanisme molecular mimicry, namun juga terdapat kemungkinan lain.
Infeksi pada target organ mempunyai peran penting dalam up-regulation molekul
ko-stimulan yang bersifat lokal dan juga induksi perubahan pola pemecahan
antigen dan presentasi, sehingga terjadi autoimunitas tanpa adanya molecular
mimicry. Namun, sebaliknya, autoimun lebih jarang terjadi pada area dengan
angka kejadian infeksi yang tinggi. Mekanisme proteksi autoimun oleh infeksi
ini masih belum jelas.
Virus sering dihubungkan dengan penyakit autoimun. Infeksi
yang terjadi secara horizontal atau vertikal akan meningkatkan reaksi autoimun
dengan berbagai jalan, antara lain karena aktivasi poliklonal limfosit,
pelepasan organel subselular setelah destruksi sel, fenomena asosiasi
pengenalan akibat insersi antigen virus pada membran sel yang meningkatkan
reaksi terhadap komponen antigen diri, serta gangguan fungsi sel Ts akibat
infeksi virus. Virus yang paling sering dikaitkan sebagai pencetus autoimunitas
adalah EBV, selain miksovirus, virus hepatitis, CMV , virus coxsackie,
retrovirus, dan lain-lain.
Obat
Banyak obat dikaitkan dengan timbulnya efek samping
idiosinkrasi yang dapat mempunyai komponen autoimun di dalam patogenesisnya.
Sangat penting untuk membedakan respons imunologi dari obat (hipersensitivitas
obat), baik berasal dari bentuk asli maupun kompleks dengan molekul pejamu,
dengan proses autoimun asli yang diinduksi oleh obat. Reaksi hipersensitivitas
biasanya reversibel setelah penghentian obat sedangkan proses autoimun dapat
berkembang progresif dan memerlukan pengobatan imunosupresif.
Mekanisme autoimun yang diinduksi obat kemungkinan mengikuti mekanisme molecular
mimicry, yaitu molekul obat mempunyai struktur yang serupa dengan molekul
diri, sehingga dapat melewati toleransi perifer. Beberapa obat (seperti
penisiliamin) dapat terikat langsung dengan peptida yang mengandung molekul MHC
dan mempunyai kapasitas langsung untuk menginduksi respons abnormal sel T.
Kerentanan yang berbeda tersebut terutama ditentukan oleh genetik. Variasi
genetik pada metabolisme obat juga berperan, adanya defek pada metabolisme
mengakibatkan formasi konjugat imunologi antara obat dengan molekul diri. (Pada
SLE yang diinduksi obat, asetilator kerja lambat lebih rawan menyebabkan SLE).
Obat juga mempunyai ajuvan intrinsik atau efek imunomodulator yang mengganggu
mekanisme toleransi normal.
Agen fisik lain
Pajanan terhadap radiasi ultraviolet (biasanya dalam bentuk
sinar matahari) merupakan pemicu yang jelas terhadap inflamasi kulit dan kadang
keterlibatan sistemik pada SLE, namun radiasi ini lebih bersifat menyebabkan flare
dalam respons autoimun yang sudah ada dibandingkan sebagai penyebab. Radiasi
ultraviolet memperberat SLE melalui beberapa mekanisme. Radiasi dapat
menyebabkan modifikasi struktur pada antigen diri sehingga mengubah
imunogenitasnya. Radiasi tersebut juga dapat menyebabkan apoptosis sel dalam
kulit melalui ekspresi autoantigen lupus pada permukaan sel, yang berkaitan
dengan fotosensitivitas (dikenal dengan Ro dan La). Permukaan Ro dan La
kemudian dapat berikatan dengan autoantibodi dan memicu kerusakan jaringan.
Variasi genetik yang mengkode gen glutation-S-transferase juga dikaitkan dengan
peningkatan antibodi anti-Ro pada SLE. Pemicu lain yang diduga berkaitan dengan
penyakit autoimun antara lain stres psikologis dan faktor diet.
Patogenesis
Berbagai teori telah diajukan oleh para peneliti tentang
patogenesis autoimunitas tetapi tampaknya masing-masing mempunyai kebenaran dan
kelemahan sendiri.
Berbagai teori patogenesis autoimunitas
Pelepasan antigen sekuesterPenurunan fungsi sel T supresor
Peningkatan aktivitas sel Th, pintas sel T
Defek timus
Klon abnormal, defek induksi toleransi
Sel B refrakter terhadap sinyal supresor
Defek makrofag
Defek sel stem
Defek jaringan idotip-antiidiotip
Gen abnormal: gen respons imun, gen imunoglobulin
Faktor virus
Faktor hormon
|
Berdasarkan karakteristik penyakit autoimun organ spesifik
maka timbul dugaan adanya antigen sekuester dalam suatu organ, yang karena
tidak pernah berkontak dengan sistem limforetikular maka apabila suatu saat
terbebas akan dianggap asing dan menimbulkan pembentukan autoantibodi.
Contohnya adalah autoantibodi terhadap sperma setelah vasektomi, lensa mata
setelah trauma mata, otot jantung setelah infark miokard, atau jaringan lain
yang bila terbebas akan menimbulkan pembentukan autoantibodi.
Seperti telah kita ketahui maka aktivasi sistem imun akan
diikuti oleh mekanisme pengatur yang meningkatkan atau menekan dan menghentikan
respons imun. Gangguan pada mekanisme supresi, baik jumlah maupun fungsi sel
Ts, akan meningkatkan pembentukan autoantibodi bila respons imun tersebut sel
ditujukan terhadap autoantigen. Respons imun hampir selalu membutuhkan
kerjasama sel T dan sel B, dan telah diketahui bahwa mekanisme toleransi
ditentukan oleh sel T. Bila sel T toleran tersebut teraktivasi oleh faktor
nonspesifik atau antigen silang yang mirip dengan antigen diri, maka sel B yang
bersifat tidak toleran akan membentuk autoantibodi. Timus dan sel mikronya
sangat penting untuk diferensiasi sel T. Bila terjadi gangguan maka akan
terjadi defek sistem imun yang akan mempercepat proses autoimun. Produksi
autoantibodi dilakukan oleh sel B, dan gangguan imunitas selular, baik
peningkatan sel Th atau penekanan sel Ts, akan meningkatkan aktivitas sel B.
Selain itu dapat juga terjadi kelainan pada sel B yang
bersifat intrinsik, misalnya terdapat klon sel B autoreaktif yang
hiperresponsif terhadap berbagai stimuli, atau kelainan ekstrinsik berupa
aktivasi sel B oleh mitogen endogen atau eksogen yang disebut aktivator
poliklonal. Sel B dapat bereaksi dengan autoantigen melalui berbagai
reseptornya yang mempunyai aviditas rendah sampai tinggi, sementara sel T tetap
toleran. Aktivator poliklonal yang terdiri
dari produk bakteri, virus, atau komponen virus,
parasit, atau substansi lainnya dapat langsung merangsang sel B tersebut
untuk memproduksi autoantibodi (lihat Gambar 15-3). Hal ini dapat terlihat
dengan terdeteksinya faktor rheumatoid dan antinuklear, antilimfosit,
antieritrosit, serta anti-otot polos setelah infeksi parasit, bakteri, atau
virus. Selain itu terbukti pula bahwa lipopolisakarida bakteri dapat
menginduksi limfosit tikus untuk memproduksi berbagai autoantibodi seperti anti
DNA, antiglobulin γ ,antitimosit, dan antieritrosit.
Makrofag mempunyai fungsi penting untuk memproses dan
mempresentasikan antigen pada limfosit, serta memproduksi berbagai sitokin
untuk aktivasi limfosit. Fungsi penting lainnya adalah sebagai fagosit untuk
mengeliminasi berbagai substansi imunologik yang tidak diinginkan, misalnya
kompleks imun. Pada penderita penyakit autoimun diduga bahwa eliminasi kompleks
imun tidak berfungsi dengan baik karena jumlah reseptor Fc dan CR1 (C3b, imun
adherens) pada makrofag berkurang, tetapi hasil penelitian tentang fungsi
makrofag pada penyakit autoimun masih belum konsisten.
Autoimunitas
dapat juga terjadi karena defek pembentukan toleransi yang telah dibuktikan
pada hewan percobaan, akibat gangguan sel T atau sel B, atau keduanya. Gangguan
toleransi ini hanya terjadi untuk antigen tertentu saja. Sampai sejauh ini
masih belum dapat diambil kesimpulan komprehensif dari penelitian tentang peran
defek toleransi tersebut.
Cara
terbaik untuk membuktikan peran humoral, selular, lingkungan mikro atau virus
terhadap autoimunitas adalah uji transfer autoimunitas dengan jaringan atau
ekstrak jaringan hewan percobaan yang mempunyai predisposisi genetik autoimun
ke resipien tanpa defek tersebut. Dengan cara ini maka terlihat bahwa defek sel
stem, terutama prekursor sel B, lebih berperan untuk timbulnya autoimunitas
daripada sel B matang.
Aktivasi sel B ditentukan oleh sejumlah sinyal dan faktor
yang datang dari sel T. Pada penyakit autoimun sistemik terdapat peningkatan
jumlah sel B aktif dan yang memproduksi antibodi poliklonal. Hiperreaktivitas
sel B ini disebabkan oleh defek sel B terhadap kebutuhan sinyal, produksi faktor
proliferasi, diferensiasi, dan maturasi oleh sel T yang berlebih, atau respons
sel B yang tidak normal terhadap faktor-faktor tersebut. Akibatnya akan terjadi
hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, alih imunoglobulin menjadi
autoantibodi subkelas patologik, dan akhirnya penyakit autoimun sistemik.
Para penulis sepakat bahwa peran faktor genetik terhadap
angka kejadian, awitan, dan perjalanan penyakit autoimun sangat besar. Gen yang
bertanggung jawab terhadap predisposisi autoimun ini bukanlah lokus tunggal,
dan dihubungkan dengan gen yang menentukan respons imun terhadap antigen, yaitu
gen MHC dan gen imunoglobulin. Hal ini terlihat dari adanya hubungan antara
suatu antigen HLA dengan penyakit tertentu yang dinyatakan dengan risiko
relatif.
Sel B dan sel T serta produknya dapat mengekspresikan
determinan idiotip atau anti-idiotip yang ikut berfungsi sebagai regulator
sistem imun. Antibodi anti-idiotipik dapat menekan atau merangsang respons
imun. Pada umumnya autoantibodi anti-idiotipik akan menekan respons imun
terhadap idiotip. Seperti halnya antibodi biasa, autoantibodi merupakan
produk respons imun terhadap antigen/autoantigen, atau terhadap Ab2
(anti-idiotip) yang menyerupai antigen. Oleh karena itu dapat diduga bahwa
autoimunitas dapat terjadi akibat defek regulasi sistem imun yang menyebabkan
penekanan atau rangsangan produksi antibodi anti-idiopatik (lihat Gambar 15-4).
Defek tersebut dapat menyebabkan produksi autoantibodi atau stimulasi Ab1
(idiotip) yang tidak terkontrol walaupun tidak ada antigen lagi. Diduga bahwa
defek ini berhubungan erat dengan sirkuit sel B-Th-Ts dan idiotip serta
anti-idiotipnya.
Tidak
satu pun dari teori tersebut dapat memberikan penjelasan tunggal yang
memuaskan, sehingga disimpulkan bahwa semua faktor tersebut berperan pada
patogenesis autoimunitas.
Mekanisme rusaknya toleransi
Mengatasi toleransi perifer
Keadaan yang mengakibatkan rusaknya toleransi biasanya
berkaitan dengan infeksi dan kerusakan jaringan yang non-spesifik. Pembalikan
anergi dapat terjadi oleh paparan sitokin tertentu, terutama IL-2. Penyakit
autoimun yang bertambah berat terlihat pada terapi dengan IL-2 pada keganasan.
Pembalikan supresi oleh sel T baru dapat dilihat pada hewan yang kehilangan
sitokin imunosupresif.
Toleransi perifer yang rusak dapat terjadi akibat akses antigen diri yang tidak
tepat pada antigen-presenting cells, ekspresi lokal molekul
ko-stimulator yang tidak tepat atau perubahan cara molekul diri dipresentasikan
ke sistem imun. Hal-hal tersebut terjadi saat inflamasi atau kerusakan
jaringan, diinduksi oleh infeksi lokal atau faktor fisik. Inflamasi lokal akan
meningkatkan aliran antigen diri ke nodus limfe (dan juga ke antigen-presenting
cells) dan juga menginduksi ekspresi molekul MHC dan molekul ko-stimulator.
Adanya peningkatan enzim proteolitik pada lokasi inflamasi juga dapat
menyebabkan kerusakan protein intraseluler dan ekstraseluler, menyebabkan
sejumlah peptida dengan konsentrasi tinggi dipresentasikan ke sel T yang
responsif, peptida tersebut dinamakan cryptic epitopes. Peptida diri
juga dapat diubah oleh virus, radikal bebas dan radiasi ion, dan akhirnya
melewati toleransi yang telah ada sebelumnya.
Kemiripan molekul
Kesamaan struktur antara protein diri dengan protein dari
mikroorganisme juga dapat memicu respons autoimun. Peptida diri dengan
konsentrasi rendah dan tanpa akses ke antigen-presenting cells dapat
bereaksi silang dengan peptida mikrobial yang memiliki struktur serupa. Hal ini
mengakibatkan ekspansi populasi sel T yang responsif yang dapat mengenali
peptida diri, apabila kondisi lokal (seperti kerusakan jaringan) menyebabkan
presentasi peptida tersebut dan akses sel T ke jaringan tersebut .
Molecular mimicry, antigen mikrobial dan antigen diri
yang terlibat
Antigen mikrobial
|
Antigen diri
|
Penyakit yang diduga akibat molecular mimicry
|
Protein grup A streptokokus M
|
Antigen di otot jantung
|
Demam reumatik
|
Bacterial heat shock proteins
|
Self heat shock proteins
|
Terkait dengan penyakit autoimun berat namun belum
terbukti
|
Protein inti Coxsackie B4
|
Glutamat dekarboksilase sel pulau pankreas
|
Diabetes melitus dependen insulin
|
Glikoprotein Campylobacter jejuni
|
Gangliosida dan glikolipid terkait mielin
|
Sindrom Guillain-Barre
|
Heat shock protein dari Eschericia coli
|
Subtipe rantai HLA-DR β mengandung “epitop bersama”
artritis reumatoid
|
Artritis reumatoid
|
Sekali
toleransi rusak terhadap peptida tertentu, maka inflamasi berlanjut pada
presentasi peptida lainnya dan respons imun akan meluas dan menghasilkan
percepatan kerusakan jaringan lokal. Proses domino ini disebut epitope
spreading.
Sel T yang belum pernah terpajan dengan antigen (sel T naive) memerlukan
ko-stimulasi melalui CD28 unutk dapat berperan dalam respons imun. Namun, sel T
yang sebelumnya sudah teraktivasi dapat diinduksi untuk proliferasi dan
produksi sitokin melalui variasi sinyal ko-stimulasi yang lebih luas,
dicetuskan oleh molekul adesi yang diekspresikan di sel tersebut. Oleh karena
itu, sel autoreaktif yang telah teraktivasi sebelumnya tidak hanya resirkulasi
secara bebas di jaringan yang terinflamasi (karena adanya peningkatan ekspresi
molekul adesi) namun juga lebih mudah mengaktivasi setelah sampai di jaringan
yang mengandung peptida diri/kompleks MHC yang sesuai. Hal ini menandakan
sekali barier toleransi rusak, respons autoimun akan lebih mudah bertahan dan
menyebabkan proses patogenik autoreaktif yang lama pula.
Mekanisme kerusakan jaringan
Kerusakan jaringan pada penyakit autoimun diperantarai oleh
antibodi (hipersensitivitas tipe II dan III) atau aktivasi makrofag oleh sel T
CD4+ atau sel T sitotoksik (hipersensitivitas tipe IV). Mekanisme kerusakan
dapat tumpang tindih antara kerusakan yang diperantarai antibodi dengan sel T.
Selain kerusakan jaringan yang diperantarai oleh mekanisme hipersensitivitas,
autoantibodi juga dapat menyebabkan kerusakan dengan terikat pada lokasi
fungsional dari antigen diri, seperti pada reseptor hormon, reseptor
neurotransmiter dan protein plasma. Autoantibodi tersebut dapat menyerupai atau
menghambat aksi ligand endogen dari antigen diri, sehingga menyebabkan
abnormalitas fungsi tanpa adanya inflamasi atau kerusakan jaringan. Kerusakan
yang diperantarai antibodi pada autoimunitas terjadi bila autoantibodi
mengenali antigen yang bebas di cairan ekstraseluler atau diekspresikan pada
permukaan sel.
Langganan:
Postingan (Atom)