Hukum lingkungan di
Indonesia sudah sangat memadai, hal ini dibuktikan dengan banyaknya peraturan
yang dimulai dari tingkat nasional sampai pada tingat daerah. UU NO. 32 Tahun 2009 sebagai dasar dari UU Lingkungan
Hidup telah mencakup tahap Perencanaan, Pemanfaatan, Pengendalian,
Pemeliharaan, Pengawasan, dan Penegakan Hukum.
Sebagai
contoh studi kasus penegakan hukum di Indonesia adalah kasus Lumpur Lapindo
Brantas di Siduarjo. Semburan lumpur Lapindo pertama kali terjadi pada Senin,
29 Mei 2006, pukul 05.30 WIB. Material semburan keluar melalui titik-titik baru
pada celah batuan atau tanah terletak lebih kurang 50 meter dari titik bor yang
sedang di ekplorasi oleh PT. Lapindo Brantas Inc. Lumpur ini menyembur hingga
ketinggian 150 m.
Fakta yang sangat gamblang, bahwa Lapindo
Brantas melakukan pemboran tanpa selubung (chasing) bahkan sempat
memancing perselisihan diantara pemegang saham (ditandai dengan keluarnya surat
Medco terhadap Lapindo, melarikan dari lokasi sehingga tidak dapat dilakukan
penanggulangan awal, adalah beberapa tindakan pelanggaran terhadap prosedur
standar operasi (SOP) pemboran. Namun hal ini belum mampu menggerakkan hati
aparat penegak hukum untuk melakukan proses hukum dan mengadili pihak-pihak
yang seharusnya bertanggung-jawab, sehingga mendorong lahirnya solusi yang adil
dan layak bagi rakyat korban.
Kejadian
Lumpur Lapindo telah berhasil menampakkan karakter pemerintahan dan kebijakan
ekonomi yang sangat liberal. Bila pemerintah disiplin meminta pengorbanan
rakyat dalam pencabutan subsidi dan privatisasi badan usaha negara, maka di
sisi lain negara gagal menjalankan fungsinya sebagaimana diamanatkan
konsititusi, melindungi dan mensejahterakan rakyat. Penyebab kesengsaraan akibat
semburan lumpur belum berhasil diproses ke meja pengadilan oleh negara hingga
saat ini. Ketidakseriusan ini tampak dalam pernyataan-pernyataan untuk tidak
melanjutkan proses hukumnya. Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga
menyatakan terdapat kesalahan dalam pengeboran itu. BPK menilai PT Lapindo
sebagai operator Blok Brantas saat mengeksplorasi sumur Banjarpanji 1 diduga
menggunakan peralatan yang kurang memenuhi standar. Perusahaan itu tidak
memerhatikan aspek kehati-hatian dalam penanganan masalah lumpur sehingga
memicu semburan lumpur panas di Sidoarjo.
Dalam analisa
lingkungan yang dibuat Bapedal Jawa Timur, Dinas Lingkungan Hidup dan
Pertambangan Sidoarjo dan Lapindo Brantas/EMP sendiri, disebutkan lumpur yang
menggenangi 5 desa di Sidoarjo ini mengandung konsentrasi fenol3 melebihi baku
mutu. Kerusakan lingkungan hidup yang terjadi secara masive di kecamatan Porong
dan sekitarnnya, telah mengarah pada tindakan pengrusakan dan pemusnahan
ekosistim secara terbuka, bahkan akan berpengaruh pada wilayah-wilayah di
sekitarnnya, jika penanganannya sama sekali tidak memperhatikan geo-ecology wilayah
setempat. Lumpur yang menyembur di porong ini, selain panas juga mengandung
bahan beracun berbahaya (B3) yang melebihi ambang batas, kandungan fenol dalam
lumpur tersebut – sebagimana disebutkan dalam PP No 85/99 tentang perubahan
atas PP No 18/1999 tentang pengelolaan limbah B3 - termasuk dalam daftar zat
limbah pencemar yang bersifa kronis. Bahkan, jika diakumulasi hingga hari ke
90, insiden lumpur Lapindo diperkirakan akan memuntahkan lebih dari 40 ton
fenol, 8 ton besi (Fe), 1.4 juta ton padatan tersuspensi, 50 ribu ton senyawa
klorida. Pemerintah Kabupaten Sidoarjo melalui dinas terkait, secara resmi
telah mengirimkan sampel lumpur sebanyak dua tong ke Laboratorium Kimia Tanah,
Fakultas Pertanian Unibraw, Malang, dengan maksud apakah lahan yang digenangi
Lumpur panas masih layak bagi kepentingan pertanian dan pemukiman. Hasilnya,
bila digunakan untuk bercocok tanam ternyata membutuhkan biaya mahal.
Sementara itu,
berdasarkan PP No 41 tahun 1999 dijelaskan bahwa ambang batas PAH yang
diizinkan dalam lingkungan adalah 230 μg/m3. Maka dari hasil analisis di
atas diketahui bahwa seluruh titik pengambilan sampel lumpur Lapindo mengandung
kadar Chrysene diatas ambang batas. Sedangkan untuk Benz(a)anthracene
meski hanya terdeteksi di tiga titik yaitu titik 7,15 dan 20, kesemuanya
berkadar diatas ambang batas.
Dalam penelitian
tersebut juga dilakukan pengukuran kadar PAH (Chrysene dan Benz(a)anthracene)
dalam lumpur Lapindo. Jumlahnya mencapai ribuan kali diatas ambang batas bahkan
ada yang lebih dari itu. Maka bahaya adanya kandungan PAH (Chrysene dan Benz(a)anthracene)
tersebut telah mengancam keberadaan manusia dan lingkungan: Bioakumulasi dalam
jaringan lemak manusia (dan hewan); kulit merah, iritasi, melepuh, dan kanker
kulit jika kontak langsung dengan kulit; kanker; permasalahan reproduksi; membahayakan
organ tubuh seperti liver, paru-paru, dan kulit.
Walhi (Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia) pernah menyampaikan petunjuk pada kepolisian
tentang adanya laporan rahasia milik PT Medco yang seharusnya dapat menjadi
bukti yang menentukan. Penyidik kepolisian tentunya memiliki wewenang memaksa
yang jauh lebih kuat daripada Walhi sebagai organisasi non pemerintah, akan tetapi
penyidik tidak menindaklanjuti laporan tersebut. Terjadi ketimpangan akses
terhadap bukti, ahli dan sebagainya antara Walhi dan dengan pemerintah serta
Lapindo di lain pihak. Sehingga tidak mengherankan jika kemudian dengan alasan
kurangnya bukti maka kedua perkara ini kandas di pengadilan.
Kendala-kendala yang dihadapi di Lapangan
1. Kurangnya ahli yang
mendukung penyelamatan lingkungan
Hal
ini tampak dalam perkara Lapindo, hakim dalam pertimbangannya menyatakan WALHI
hanya mengajukan seorang ahli tentang penyebab semburan. Lembaga publik yang
memiliki informasi berdasarkan hasil penelitian ilmiah tentang dampak kegiatan
sebuah perusahaan pun tidak kopoperatif.
2.
Kurangnya pemahaman hakim tentang pentingya daya dukung
lingkungan
Sembuaran
lumpur Lapindo yang telah jelas berdampak luas tidak membuat hakim peka tentang
dampak lingkungan yang diakibatkan. Hakim tampak tidak inisiatif menambah
pengetahuan bagi dirinya terhadap kasus lingkungan yang sedang dihadapi.
3. Pembuktian
Sengketa
lingkungan baik itu pencemaran lingkungan maupu kerusakan lingkungan adalah
suatu peristiwa hukum yang relatif baru dalam rimba peradilan Indonesia.
Sengketa lingkungan ketika masuk dalam sistem peradilan Indonesia yang masih
kesulitan dalam pembuktiannya, hal ini berdampak pada keputusan Hakim yang
sangat normatif dan sangat jarang putusan-putusan tersebut menciptakan
hukum-hukum baru khususnya kasus lingkungan. Hakim lebih cenderung
mengedepankan pembuktian formil dalam kasus-kasus lingkungan.
4.
Keterbatasan
pendanaan
Penegakan
hukum lingkungan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, seperti penyelidikan
laboratorium yang terakreditasi, memobilisir para ahli. Dengan tidak adanya
dana publik yang khusus untuk penyelesaian kasus lingkungan hidup, maka upaya
perjuangan hukum dalam persoalan lingkungan hidup akan terkendala.
Efektifitas
Pengaturan Penegakan Hukum
UU
Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup Pasal 65 menyatkan bahwa setiap
warga negara berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat berhak
mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi,
dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat. berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau
kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup
berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup. Hak atas lingkungan hidup adalah hak yang dilindungi oleh
konstitusi sehingga pemerintah harus serius dalam menegakkannya.
Penegakan hukum belum efektif
karena arti penting lingkungan dikalahkan untuk kepentingan investasi. Kendati
pemerintah seringkali menyatakan akan memprioritaskan peran lingkungan hidup,
tapi dalam kenyataannya tidak demikian, tampak dalam kasus lumpur lapindo
Brantas yang masih belum selesai sampai sekarang. Penegakan hukum tindak pidana
korupsi masih lebih serius dibandingkan dengan tindak pidana lingkungan hidup. Penegakan hukum atas persoalan
lingkungan tidak berjalan efektif mana kala berhadapan dengan investor besar.
Namun, juga terjadi dengan perusahaan lokal.
Solusi/Strategi
Penyelesaian Kasus Lingkungan
Belajar dari penanganan kasus tindak pidana korupsi,
maka untuk kasus lingkungan hidup Indonesia memerlukan :
1. pengadilan khusus
untuk kasus lingkungan hidup. Dengan adanya pengadilan khusus kasus lingkungan,
maka akan terdapat fokus dan konsentrasi sumber daya penegak hukum untuk
mengatasi tindak pidana lingkungan hidup;
2.
Pendekatan
multi door, karena kasus lingkungan erat berkaitan dengan kasus seperti
korupsi, pencucian uang, penggelapan pajak sampai tindakan pidana lingkungan
maka Walhi menggagas perlu adanya pendekatan multi door. Dimana pendekatan ini
dengan melibatkan semua pihak baik KPK, PPATK, KLH, Kepolisian guna saling
mensupport kasus-kasus lingkungan pendekatan ini akan efektif jika ada satu
lembaga dibawah presiden yang akan melakukan koordinasi seperti UKP4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar