Kamis, 12 Februari 2015

EKOREGION KALIMANTAN



1.      Karakteristik Ekoregion
A.    Sejarah Pulau Kalimantan
Sejarah Kalimantan diawali dengan masuknya bangsa Austronesia sekitar 8000 Sebelum Masehi (SM) ke pulau ini dari arah utara, kemudian mendirikan pemukiman komunal khas yang hingga kini masih bisa ditemui keberadaannya, yakni rumah panjang yang selalu berpindah-pindah. Hal ini didorong karena seringnya terjadi peperangan antar suku pada masa itu. Sekitar 2500 SM terjadi migrasi nenek moyang suku Dayak dari Formosa (Taiwan) dengan membawa tradisi “ngayau”, “pengayauan” dan kepercayaan menghormati leluhur dengan tradisi “kuburan tempayan”. Kemudian pada perkembangan selanjutnya terjadi migrasi suku Melayu Deutero ke Pulau Kalimantan sekitar 1500 SM.
Kalimantan atau Klemantan berasal dari bahasa Sansekerta,  Kalamanthana yang artinya pulau yang udaranya panas. Karena vokal  a pada  kala dan  manthana menurut kebiasaan tidak diucapkan, maka diucapkan  Kalmantan yang akhirnya diturunkan menjadi Kalimantan. Jika ditilik dari bahasa Jawa, kalimantan berarti sungai intan. Di zaman Hindia Belanda, secara administratif, Kalimantan dikenal dengah nama Borneo. Nama Borneo itu berasal dari nama pohon Borneol atau kayu kamper (bahasa Latin:  Dryobalanops camphora ) yang banyak tumbuh di Kalimantan. Kayu ini mengandung terpentin (C 10 H 17 OH) sebagai bahan antiseptik atau dipergunakan untuk minyak wangi dan kamper. Oleh para pedagang dari Eropa kemudian disebut Pulau Borneo atau pulau penghasil borneol. Dilain pihak orang Melayu menyebutnya Pulau Hujung Tanah atau P'ulo Chung. [4] Para pedagang asing datang ke pulau ini mencari komoditas hasil alam berupa kamper, lilin dan sarangburung walet. Perdagangan pada masa itu dilakukan dengan cara barter dengan guci keramik yang bernilai tinggi bagi masyarakat Dayak. Para pendatang India maupun orang Melayu yang mendapat pengaruh budaya India memasuki muara- muara sungai untuk mencari lahan bercocok tanam dan menemukan tambang emas dan intan untuk memenuhi permintaan pasar. Lokasi pertambangan emas kemudian berkembang menjadi pemukiman.
B.        Karakteristik Lingkungan Fisik (Abiotik)
Kondisi Geografis Pulau Kalimantan
Kalimantan (termasuk Brunei Darussalam dan Malaysia) merupakan pulau terbesar ketiga di dunia setelah Greenland dan Papua (termasuk wilayah Papua New Guinea). Pulau Kalimantan, di bagian utara, sepertiga bagian masuk wilayah dan Brunei Darussalam dan Malaysia, sedangkan sisanya masuk wilayah Indonesia. Secara geografi Pulau Kalimantan terletak pada koordinat 10 00’ LU 114 BT masuk dalam Kepulauan Sunda Besar dengan luas daratan wilayah Indonesia 539,460 Km 2  atau 28 persen luas seluruh daratan Indonesia. Sebelah utara Kalimantan berbatasan langsung dengan Sarawak dan Sabah yang merupakan wilayah Malaysia dan wilayah Brunei Darussalam, sebelah Selatan dibatasi oleh Laut Jawa, sebelah barat dibatasi oleh Laut China Selatan dan Selat Karimata sedangkan sebelah timur dibatasi oleh Selat Makassar. Pulau Kalimantan dilintasi oleh garis katulistiwa sehingga membagi Pulau Kalimantan atas Kalimantan belahan bumi utara dan belahan bumi selatan. Secara spesifik, daerah Kalimantan Barat tepat dilalui oleh garis Khatulistiwa (garis lintang 00) tepatnya di atas Kota Pontianak.
Pulau Kalimantan memiliki pesisir yang rendah dan memanjang serta dataran sungai, terutama di bagian selatan. Lebih dari setengah pulau ini berada di bawah ketinggian 150 m dan air pasang dapat mencapai 100 km kea rah pedalaman. Pulau Kalimantan tidak memiliki gunung berapi tetapi jajaran pegunungan yang dahulunya merupakan gunung berapi. Rangkaian pegunungan utamanya melintasi bagian tengah pulau seperti trisula terbalik dari utara ke selatan. Gunung Kinabalu di Borneo yang tingginya 4.101 m, merupakan puncak tertinggi di Asia Tenggara dan merupakan gunung tertinggi di antara pegunungan Himalaya dan puncak Jayawijaya yang tertutup salju di Irian Jaya. Gunung kinabalu terdiri atas sumbat batuan granit yang terangkat oleh tekanan vulkanik dan masih terus bertambah tinggi.
Pegunungan Iran antara Kalimantan Timur dan Malaysia Timur menjulang sampai 2.160 m di G. Harum (Harden), dekat perbatasan dengan Sabah. Ujung bagian barat pegunungan Iran tengah membentuk jajaran Kapuas huku di sepanjang perbatasan atntara Sarawak dan Kalimantan Barat, menjulang G. Lawit (1.767 m) dan G. Cemaru (1.681 m). Dari pegunungan tengah sekitar G. Cemaru, pegunungan  Mueller (puncak tingginya G. Liangpran 2.240 m) dan pegunungan Schawaner (Bukit Raya 2.278 m) melintang ke barat daya di sepanjang perbatasan anatara Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Pulau Kalimantan memiliki tiga sungai terpanjang yang menjadi kebanggan Indonesia: S. Kapuas (1.143 km), S. Barito (900 km), dan S. Mahakam (775 km). sungai Kapuas (panjangnya sama dengan S. Rhine di Eropa) mengalir dari kaki G. Cemaru ke barat, mengaliri sebagian besar Kalimantan Barat dan dapat dilayari oleh kapal uap sejauh 500-600 km dari Pontianak ke hulu sungai. Sungai Rajang (sungai terpanjang di Sarawak) dan S. Baram juga mengalir ke barat. Sungai Barito yang besar mata airnya berasal dari pegunungan Mueller dan mengalir ke selatan, mengaliri lahan rawa-rawa bagian selatan dan bermuara ke laut di dekat Banjarmasin.
Borneo, pulau terbesar ketiga di dunia, dulunya dipenuhi oleh hutan hujan yang lebat. Dengan daerah pesisir rawa-rawa yang dibatasi oleh hutan bakau dan daerah bergunung-gunung, kebanyakan dari wilayah tersebut tampak tak mungkin dilewati dan dieksplorasi. Ini bisa dilihat pada peta ekoregion pulau kalimantan berikut pada Gambar 1:




 











Gambar 1 : Proses overlay antara jenis tanah, lereng dan iklim sehingga menghasilkan suatu tipe ekoregion Pulau (ada 8 klasifikasi region pulau)

Kondisi Geologi
Secara geologi Pulau Kalimantan tersusun oleh empat unit geologi utama yaitu batuan yang dihubungkan dengan pinggir lempeng batuan dasar, batuan muda yang mengeras dan tidak mengeras dan alluvium serta endapan muda yang dangkal yang dimulai pada waktu Palaeozoikum hingga Kenozoikum. Kompleks batuan dasar ditemukan di bagian barat dan tengah Pulau Kalimantan termasuk Pegunungan Muller Schwanner yang juga sebagai singkapan benua terbesar di Indonesia. Jenis batuan pada kompleks ini telah mengalami metamorfosis dari batuan aslinya, beberapa diantaranya adalah batu pualam, batu sekis hijau, batu gneiss serta membentuk daerah kristal yang sangat luas. Selain itu dibeberapa tempat juga terdapat beberapa jenis batuan yang merupakan potongan-potongan lantai samudera yang dicirikan oleh susunan batuan beku yang padat gelap tipe basa dan ultrabasa dengan komponen granit. Endapan batu kersik samudera dan karbonat juga ditemukan, deretan batuan ini yang kemudian disebut dengan Opiolit. Opiolit terbentuk akibat dari pergerakan tektonik lempeng yang menubruk lempeng kerak samudera, kelompok ini tersebar kompleks opiolit Pulau Laut dan Pegunungan Meratus.
Batuan mélange yang berasosiasi dengan pinggir lempeng Kalimantan sering dikaitkan dengan proses pembentukan jalur penunjaman dengan karakteristik matrik berliat yang terpotong sebagai bentuk adanya tekanan yang kuat. Daerah mélange yang luas ditemukan dibagian tengah Pulau Kalimantan yaitu terbentang di daerah perbatasan antara Kalimantan dan Malaysia. Sebagian besar Kalimantan terdiri dari batuan yang keras dan agak keras, termasuk batuan kuarter yang tersebar di Semenanjung Sangkulirang dan jajaran Pegunungan Meratus, batuan vulkanik dan endapan tersier. Kalimantan tidak memiliki gunung api yang aktif, namun dibeberapa daerah tersusun oleh batuan vulkanik tua yang kokoh dibagian barat daya dan bagian timur Kalimantan. Batuan vulkanik tersebut terbentuk sebagai hasil aktifitas magma yang muncul ke permukaan membentuk batuan intrusi seperti granodiorit. Batuan intrusi inilah yang mengandung cadangan emas yang kemudian terkikis, tererosi dan terakumulasi ditempat-tempat tertentu. Hingga saat ini masih sering ditemukan beberapa usaha dan kegiatan penambangan emas yang dilakukan oleh masyarakat dan perusahaan. Suatu kawasan yang luas di bagian tengah, timur dan selatan Kalimantan tersusun dari batuan endapan seperti batu pasir dan batu sabak. Kebanyakan formasi sedimen ini lebih muda dan berfungsi sebagai formasi pembentuk cadangan batubara dan minyak bumi di Kalimantan. Pada bagian selatan lebih dominan tersusun dari pasir keras yang renggang dan teras kerikil yang dilapisi oleh timbunan gambut muda yang dangkal dan kipas alluvial.
Dikarenakan Pulau Kalimantan bukan merupakan jalur vulkanik aktif proses pembentukan batuan lebih dominan terbentuk akibat dari proses pelapukan dan pengikisan batuan induk yang tertransportasi dan tersedimentasikan pada daerah- daerah yang lebih rendah. Hal ini juga mengakibatkan keberadaan lapisan tanah penutup (top soil) akan menjadi sangat tipis sekali karena hanya tergantung dari proses pelapukan dari batuan induk dan bahkan pada daerah-daerah tertentu ditemukan singkapan-singkapan batuan induk di permukaan.
Gambar 1. Peta Cekungan Batubara di Kalimantan, (sumber : Badan Geologi,
      Kementerian ESDM)

            Kondisi tanah merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi penyebaran vegetasi. Ada lima faktor utama dalam formasi tanah: lithologi, iklim, topografi, mahluk hidup, dan waktu. Gambar 2 menunjukkan penyebaran jenis-jenis tanah utama di Kalimantan. Tabel 1 menunjukkan jenis uatama dan sifat-sifatnya.
Sebagian besar tanah di Kalimantan berkembang pada dataran bergelombang dan pegunungan yang tertoreh di atas batuan sedimen dan batuan beku tua. Tanah berkisar dari ultisol  masam yang sangat lapuk dan inceptisol  muda. Di bagian selatan dataran alluvial dan tanah gambut yang sangat luas sampai ke Pulau Jawa. Didaerah tropis yang lembab pelapukan berlangsung sangat cepat, disebabkan oleh panas dan kelembaban. Karena curah hujan yang tinggi, tanah selalu basah dan unsur-unsur pokoknya mudah larut. Kelompok tanah yang paling umum adalah inceptisol. Tanah ini pelapukannya sedang dengan profil yang jelas. Di Kalimantan terdapat kelompok tanah tropet yang lebih subur dan tersebar luas di pegunungan dengan lereng yang terjal dan erosi aktif. Kelompok dystropept yang berwarna coklat kemerahan terbentuk di atas batuan masam dan bersilika, seperti batuan konglemerat, batu pasir, batu sabak, dan batu lanau. Tanah histosol yang tersusun atas bahan organic (gambut) tersebar luas di dataran rendah. Tanah spodosol  terdapat di tempat yang mempunyai bahan induk masam, saliran di dalam tanah dan erosi minimum. Kondisi seperti ini ditemukan di teras pasir kuarsa dan di lereng-lereng batu pasir kuesta yang halus di Kalimantan Tengah.
Kondisi Iklim
Kalimantan terletak di Khatulistiwa dan memiliki iklim tropis dengan suhu yang relative konstan sepanjang tahun, yaitu antara 25-450C di dataran rendah dengan curah hujan minimum 60 mm setiap bulan. Kalimantan hanya memiliki sedikit bulan basah dengan curah hujan kurang dari 200 mm. Angin musim barat laut mencapai Kalimantan Barat pada bulan Agustus-September dan musim hujan berlangsung sampai bulan Mei, curah hujan sangat tinggi terutama pada bulan Nopember dan April. Di Kalimantan Tengan dan Kalimantan Selatan, curah hujan umumnya bertambah tinggi kearah utara dari daerah pesisir. Bulan kering terjadi pada bulan Juli sampai September di Kalimantan Barat.
Daerah-daerah pesisir di Kalimantan Timur dan bagian timur Sabah jauh lebih kering daripada bagian lainnya di Kalimantan. Curah hujan relatif lebih rendah dan sering kurang dari 200 mm/bulan, terutama di daerah Semenanjung Sangkurilang.
Kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS)
Menurut Pasal 1 Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Daerah Aliran Sungai, disingkat DAS, adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
Kalimantan memiliki sungai yang banyak dan bahkan dijuluki sebagai pulau seribu sungai. Kondisi ini didukung dengan keberadaan hutan yang lebat. Namun, wilayah hutannya kini semakin berkurang akibat maraknya aksi penebangan pohon dan konversi hutan. Secara administrasi wilayah Kalimantan meliputi 4 Provinsi yaitu; Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan dengan 38 DAS/Sub DAS (lihat Gambar 2) dan 14 Sistem Wilayah Sungai (SWS) Kalimantan.
Gambar 2. Peta sebaran DAS dan Sub DAS di Kalimantan (sumber: hasil
  olahan tim SLHE, 2011).


Menurut data statistik kehutanan 2010, kondisi tutupan vegetasi Kalimantan terdiri dari 53 persen hutan sekunder dan 25 persen sudah tidak berhutan (lihat gambar 3). Hal ini menunjukan bahwa hingga tahun 2010 sekitar 78 persen kawasan hutan di Kalimantan berubah satusnya dan hal ini berpengaruh terhadap ekosistem dan habitat didalamnya. Pengaruh dan dampak dari perubahan status tersebut bias dirasakan saat ini, yakni pada saat musim hujan beberapa daerah akan mengalami banjir yang setiap tahun semakin mengkhawatirkan, sebaliknya pada saat musim kering/kemarau beberapa daerah mengalami kekeringan sehingga kesulitan untuk memperoleh air bersih dan terjadi kebakaran hutan dan lahan.
Gambar 3. Kondisi tutupan hutan di Kalimantan
Kalimantan memiliki sungai-sungai yang panjang dan memiliki arti penting bagi  kehidupan dan perekonomian masyarakat. Beberapa sungai-sungai terpanjang di Kalimantan adalah Sungai Kapuas (1.143 km) di Kalimantan Barat, Sungai Barito (880 km) di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, Sungai Mahakam (980 km) di Kalimantan Timur. Daerah aliran sungai (DAS) pada tiga sungai besar tersebut kini membutuhkan penanganan dan mendapat prioritas utama untuk direhabilitasi dan termasuk dalam 60 DAS kritis di Indonesia. Selain kerusakan ekosistem akibat deforestasi besar-besaran yang terjadi selama ini, kondisi sebagian sungai dan anak- anak sungainya juga rusak, terus mendangkal, bahkan di antaranya ada yang tercemar akibat usaha dan atau kegiatan yang membuang limbahnya ke sungai.
Gambar 4. Peta posisi DAS Kapuas, DAS Barito dan DAS Mahakam (sumber : hasil
      olahan tim SLHE, 2011)

DAS Mahakam
Sungai Mahakam di Propinsi Kalimantan Timur merupakan salah satu sungai yang besar dan panjang di Indonesia (panjang ± 980 km). Luas daerah aliran Sungai Mahakam adalah 77.095 km 2,  secara administrasi mencakup 4 (empat) kabupaten dan 1 (satu) kota yaitu : Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Kutai Timur, dan Kota Samarinda.
a.       Kondisi Fisik
DAS Mahakam terletak pada ketinggian antara 0 sampai dengan 1500 m di atas permukaan laut dengan kemiringan antara 0 sampai 60 persen. Daerah dataran (ketinggian < 25 m) umumnya terdapat pada kawasan pesisir pantai (DAS bagian hilir), sekitar danau dan di kawasan sepanjang alur Sungai Mahakam. Sedangkan daerah perbukitan dan pegunungan (ketinggian > 1.000 m) terdapat di bagian hulu DAS berbatasan langsung dengan Propinsi Kalimantan Tengah dan Negara bagian Serawak Malaysia. Berdasarkan sudut kemiringan lereng dan kerapatan bukitnya, DAS Mahakam dapat dibagi dalam tiga satuan morfologi, yaitu satuan morfologi perbukitan, satuan morfologi bergelombang landai dan satuan morfologi dataran.
Kemiringan lereng di DAS Mahakam berdasarkan kriteria kelas lereng dapat dibagi dalam lima kelas dengan masing-masing kelas mempunyai luasan yang ber-variasi. Dapat dilihat pada Tabel 1.
Dari tabel tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kondisi topografi DAS Mahakam didominasi oleh daerah datar sampai landai (55,54 %), agak landai (6,60 %), dan selebihnya (37,86 %) merupakan daerah perbukitan bergelombang, terjal hingga curam dengan kemiringan lereng > 25 persen. Kondisi topografi DAS Mahakam pada umumnya sangat mempengaruhi kondisi hidrologinya, terutama terhadap erosi dan aliran permukaan. Lereng-lereng yang terjal dan curam menimbulkan erosi tanah yang berat dan kerusakan tanah yang lebih cepat, serta waktu konsentrasi aliran permukaan yang lebih pendek.
Menurut laporan penelitian  Regional Physical Planning Project for Transmigration (RePPProT), 1987 , jenis tanah yang terdapat di DAS Mahakam terdiri dari jenis-jenis : aluvial, organosol glei humus, podsolik, latosol dan litosol. Adapun penyebarannya dapat diuraikan sebagai berikut:
a.       Aluvial dengan batuan utama endapan tanah liat dan pasir terdapat di bagian hilir terutama di daerah delta Sungai Mahakam.
b.      Organosol gei humus dengan bahan aluvial terdapat di bagian tengah terutama di sekitar Danau Jempang, Semayang dan Melintang, Sungai Kedang Kepala, Muara Kaman sampai Muara Pahu.
c.        Podsolik merah kuning dengan bahan batuan endapan terdapat di pegunungan lipatan yang penyebarannya merata diseluruh Mahakam.
d.      Kompleks podsolik merah kuning, latosol dan litosol dengan bahan batuan beku, endapan dan metamorf terdapat menyebar di bagian hulu Mahakam.
Luas masing-masing jenis tanah yang terdapat di DAS Mahakam dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Jenis batuan penyusun DAS Mahakam didominasi oleh batuan sedimen liat berlempung, disamping itu terdapat pula kandungan batuan endapan tersier dan batuan endapan kwarter. Hal ini menyebabkan banyaknya sumberdaya mineral yang ditemukan di DAS Mahakam, antara lain emas, batu bara, pasir kuarsa, oksida besi, minyak dan gas.
DAS Mahakam termasuk daerah katulistiwa yang dipengaruhi oleh iklim tropis basah serta mempunyai curah hujan yang tinggi, yaitu antara 1800 – 3000 mm / tahun atau rata-rata tiap bulan di atas 150 mm. Berdasarkan curah hujan tahunan, DAS Mahakam dapat dibagi dalam 3 (tiga) golongan daerah, yaitu :
1.      Derah hilir, dengan curah hujan antara 1800 – 2000 mm / tahun.
2.      Daerah tengah, dengan curah hujan 2000 – 2400 mm / tahun.
3.      Daerah hulu, dengan curah hujan 2400 – 3000 mm / tahun.
b.      Kondisi penggunaan lahan
Penggunaan lahan di DAS Mahakam berdasarkan Peta Citra Satelit Landsat TM Skala 1 : 250.000 tahun 2000, bervariasi. Jenis penggunaan lahan terdiri dari : hutan, semak, rawa, tambak, tegalan, kebun, sawah, ladang, permukiman dan lahan kosong. Penggunaan lahan terbesar adalah hutan dengan luas 3.906.627,89 Ha atau 50,67 persen dari luas DAS, selanjutnya semak dengan luas 1.359.961,42 Ha atau 17,64 persen dari luas DAS, dan sisanya merupakan tanah rawa, tambak dan areal budidaya lainnya (analisis tim LIPI Geoteknologi Bandung, 2011).
Kondisi DAS Mahakam pada tahun 1962 ( Suryadiputra et. al, 2000 ), sekitar 86 persen wilayah ini masih tertutup oleh hutan, sedangkan berdasarkan  Peta Kawasan Hutan Propinsi Kaltim, Departemen Kehutanan, pada 15 Maret 2001, wilayah DAS yang masih tertutup oleh hutan diperkirakan sekitar 61 persen atau seluas 40.761 km 2 , yang terdiri dari hutan lindung (18,78%), hutan suaka alam dan wisata (14,77 %), hutan produksi terbatas (31,68 %), hutan produksi tetap (34,79 %) dan hutan untuk pendidikan dan penelitian. Kondisi ini berpengaruh terhadap :
• Erosi dan sedimentasi,
• Pendangkalan pada danau,  retarding basin dan waduk,
• Kenaikan fluktuasi debit maksimum dan minimum sungai,
• Penurunan hasil perikanan sungai,
• Meningkatnya mortalitas satwa yang dilindungi.
c.          Kualitas air sungai Mahakam
Pada kondisi normal, konsentrasi bahan polutan nitrogen (N) dan  phosporus  (P) mulai dari Muara Pahu hingga Samarinda umumnya masih jauh dibawah ambang batas baku mutu yang ditetapkan, namun untuk konsentrasi padatan tersuspensi total ( total suspended solid -TSS) baik pada kondisi normal maupun banjir telah berada diatas ambang batas. Pada kondisi banjir konsentrasi amonia (NH 3 )  tinggi pada daerah DAS Kaman, Belayan dan Siran sedangkan kadar  phospat  (PO 4), tinggi pada daerah Muara pahu sampai Samarinda . Tingginya kadar NH 3  dan PO 4 diperkirakan akibat pembusukan tumbuhan dan pencucian lahan pada kondisi banjir. Tingginya nilai-nilai tersebut menggambarkan pencemaran di sungai Mahakam sudah cukup tinggi. Beban polutan yang ditimbulkan oleh DAS Kaman, Siran dan Belayan perlu diwaspadai.


DAS Sungai Barito
a.          Kondisi Fisik
Secara administrasi kewilayahan DAS Barito terdapat dan tersebar di dua Propinsi yaitu bagian hulu terdapat di Provinsi Kalimantan Tengah serta bagian tengah dan hilirnya terdapat di Provinsi Kalimantan Selatan.
DAS Barito Bagian Hulu (Provinsi Kalimantan Tengah)
Secara geografis DAS Barito Bagian Hulu terletak antara 114°37’51” BT sampai dengan 114°55’07” BT BT dan 1°01’20” LU sampai dengan 1°34’45” LS dengan luas keseluruhan adalah 4.390.072,5 ha, yang meliputi 4 Kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu Kabupaten Barito Selatan, Barito Timur, Barito Utara, dan Murung raya. Gambaran pembagian wilayah hidrologis (Sub DAS) pada DAS Barito Bagian Hulu dapat dilihat pada Gambar 5.
Kemiringan lereng DAS Barito bagian hulu memiliki kemiringan yang cukup bervariasi, yaitu mulai datar sampai dengan sangat curam dengan kelerengan dari 0 % sampai diatas 40 %. Tingkat kelerengan ini mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap terjadinya aliran permukaan, erosi dan sedimentasi sebagai salah satu faktor penentu tingkat kerusakan dan produktivitas lahan. Semakin tinggi tingkat kelerengan suatu DAS, maka akan semakin besar potensi terjadinya kerusakan lahan dan menurunnya produktivitas lahan di DAS tersebut.
Jenis tanah yang terdapat di DAS Barito bagian hulu dapat dibedakan menjadi tujuh kelompok jenis tanah yaitu alluvial, laterik, lithosol, organosol glei humus, podsolik merah kuning, podsolik merah kuning dan podsol, dan regosol-podsol. Jenis tanah yang mendominasi adalah podsolik merah kuning yaitu seluas 1.583.809,6 ha yang tersebar hampir di seluruh DAS kemudian jenis tanah laterik seluas 1.559.774,7 ha. Kondisi penutupan lahan DAS Barito bagian hulu berdasarkan hasil interpretasi citra landsat tahun 2009 terdiri dari hutan lahan kering sekunder yang meliputi hamper dikeseluruhan daerah yaitu seluas 1.861.014,1 ha atau 42,39 persen, selanjutnya hutan lahan kering primer dengan luas 801.363,8 ha (18,25 %) dan pertanian lahan kering campur semak yaitu 479.170,2 ha (10,91 %).



Dari tipe peta ekoregion diatas (ada 8 tipe) kemudian di overlay dengan peta tipe hutan sehingga menghasilkan peta klasifikasi tipe hutan kalimantan (ada 10 klas tipe hutan). Tipe peta hutan (historic) yang ada di Kalimantan dapat dilihat pada Gambar 2. Dari peta tipe vegetasi hutan diatas kemudian di overlay dengan tutupan hutan terakhir (hasil klasifikasi citra landsat antara tahun 2006 – 2007) yang menghasilkan peta tipe hutan sisa (forest remaining Type) yang ada di Pulau Kalimantan (Gambar 3).
Gambar 2. Peta Klasifikasi Tipe Hutan Kalimantan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar