Jumat, 15 Maret 2013

BIOFILM



Berbicara tentang biofilm, seharusnya bukan hal yang asing di telinga kita. Biofilm tertebaran di sekitar kita, baik di dalam tubuh kita maupun di lingkungan sekitar kita. Biofilm merupakan kumpulan bakteri yang terus tumbuh di sebuah permukaan bahan padat maupun cair. Sebagai gambaran adalah karang yang tumbuh di gigi kita. Itu adalah salah satu jenis biofilm bakteri dalam tubuh kita.
Pertumbuhan biofilm ini bergantung pada substansi matrix bahan yang digunakan. Matrix bahan yang digunakan ini akan menyediakan aseptor elektron bagi mikroba untuk proses oksidasi dalam rangka menghasilkan energi. Selain itu, pembentukan biofilm ini bergantung pada keragaman/variasi jenis mikroba yang tumbuh. Biofilm dapat dibentuk dari satu jenis mikroba saja, namun secara alami hampir semua jenis biofilm terdiri dari campuran berbagai jenis mikroba. Sebagai contoh fungi, alga, yeast (ragi), amuba (bakteri) dan jenis mikroba lainnya. Semakin beragam mikroba yang tumbuh, maka biofilm yang terbentuk akan semakin cepat dan kompetitif. Bagi bakteri yang bersifat aerob akan tumbuh di bagian dalam, sedangkan bakteri yang bisa tumbuh secara anaerob akan berada di layer bagian dalam. Semakin beragam bakteri, maka interaksi antara bakteri semakin kompleks. Demikian halnya jenis mikroba yang lain.
Biofilm akan terbentuk pada permukaan yang lembab, hal ini disebabkan mikroba dapat bertahan hidup jika ia mendapatkan kelembaban yang cukup. Pada prosesnya biofilm mengeksresikan suatu bahan yang licin (berlendir) pada sebuah permukaan, kemudian akan menempel dengan baik di permukaan tersebut jika keadaan minimum bakteri tersebut terpenuhi. Beberapa lokasi yang dapat dijadikan tempat hidup biofilm meliputi material alami di atas dan di bawah tanah, besi, plastik dan jaringan sel. Selama kita dapat menemukan kombinasi nutrien, air dan sebuah permukaan yang tidak mengandung senyawa beracun, disana sangat mungkin kita temukan biofilm.
Biofilms menjaga kesatuan formasinya dengan saling berikatan satu sama lain pada untaian molekul gula. Hal tersebut yang kemudian disebut sebagai EPS atau extracellular unsur polymeric, yaitu terbentuknya polimer antar biofilm, sehingga kemungkinan untuk melepas menjadi sulit. Karena dengan mengekskresikan EPS ini, masing-masing biofilm sangat mungkin saling mensuport untuk berkembang dalam dimensi yang kompleks dan sangat erat (utuh). Matriks yang terbentuk dengan EPS ini akan melindungi sel dan memudahkan komunikasi antar sel melalui isyarat biokimia. Beberapa biofilms berada dalam fasa cair, dimana keadaan tersebut membantu sel dalam mendistribusikan zat yang dibutuhkan dan memberi sinyal molekul pada sel. Matriks ini cukup kuat, oleh sebab itu pada kondisi-kondisi tertentu, biofilm dapat berwujud padat. Masing-masing layer dalam biofilm akan mempunyai ketebalan yang berbeda, hal ini sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan tumbuhnya.

Koloni Mikroba
Biofilm adalah lapisan yang merupakan koloni dari konsorsium mikroba yang menempel dan menutupi suatu permukaan benda padat di lingkungan berair. Para ahli mikrobiologi memperkirakan bahwa biofilm adalah cara hidup mikroorganisme yang dominan dibandingkan dengan cara hidup melayang-layang di dalam cairan  atau planktonis.
Biofilm terbentuk ketika mikroba perintis mulai menempel pada suatu permukaan benda padat (plastik, bebatuan dan lain-lain) di lingkungan berair. Mikroba ini dapat berupa species tunggal atau bermacam species yang kemudian menghasilkan zat polimer yang kental dan lengket-seperti lem- ke luar sel. Inilah yang membuat mereka dapat menempel kuat pada permukaan benda padat dan saling merekatkan diri satu sama lain. Polimer yang lengket ini biasanya terdiri dari kelompok senyawa polisakarida. Polisakarida ini tidak hanya berguna untuk menempel pada suatu permukaan, tetapi juga dapat menjerat sekaligus mengkonsentrasikan zat makanan  yang terkandung dalam air yang mengelilingi permukaan biofilm. Polisakarida ini juga melindungi sel mikroba dari toksik yang dapat membunuh mikroba penghuni biofilm.
Karena itu dengan membuat biofilm, mikroba menjadi lebih sanggup bertahan terhadap stres lingkungan dari pada hidup secara planktonis. Mereka ibarat membangun masyarakat sebuah kota yang tangguh di mana kebutuhan hidup mikroba tersebut seperti energi, zat gizi, dan pertahanan tercukupi dengan saling tergantung satu sama lain. Mereka hidup saling menempel dengan tingkat kepadatan yang tinggi dan mobilitas individu yang nyaris nol.
Dalam kehidupan sehari-hari biofilm banyak dijumpai di sekitar kita. Salah satu contohnya adalah karang gigi. Karang gigi biasanya adalah lapisan biofilm dari bakteri Streptococcus. Biofilm yang dapat terdiri dari multi lapisan ini menempel pada permukaan gigi dan dapat menyebabkan caries gigi. Penelitian biofilm pada gigi ini berdampak luas pada ilmu kedokteran gigi dan kesehatan mulut.
Biofilm juga terdapat pada bagian tubuh manusia lainnya. Biofilm dalam tubuh manusia biasanya menjadi masalah ketika terjadi pencangkokkan organ buatan. Koloni mikroorganisme patogen dalam bentuk biofilm-lah yang biasanya menyebabkan infeksi dan penolakan penanaman organ baru tersebut ke tubuh pasien. Mikroba penghuni biofilm yang menutupi permukaan organ buatan itu sulit dijangkau oleh antibiotik dan dapat menebarkan infeksi yang berujung pada penolakan tubuh terhadap organ yang dicangkok.
Dalam prespektif industri, biofilm juga dipandang sebagai gangguan. Sebagai contoh, biofilm yang terdapat pada pipa-pipa minyak atau saluran air dapat menyebabkan korosi pipa secara pelan tetapi pasti, sehingga menyebabkan kebocoran pipa.
Meningkatkan Daya Kohesi Tanah Berpasir
Akan tetapi, biofilm ternyata juga bisa memberi keuntungan bagi manusia dan dapat dimanfaatkan sebagai solusi alternatif untuk stabilisasi bangunan yang berdiri di atas tekstur tanah yang rentan terhadap bencana gempa bumi. Penelitian ini dilakukan oleh para peneliti dari Lafayette College, Amerika Serikat, dan dipresentasikan pada pertemuan tahunan Masyarakat Ilmiah Mikrobiologi Amerika Serikat Juni tahun lalu.
Biofilm yang diaplikasikan ini adalah koloni dari bakteri Flavobacterium johnsoniae yang secara alami terdapat di tanah. Bakteri ini dipilih karena bersifat non-patogenik, terdapat secara alami pada aliran (pembuangan ) air tanah, tidak perlu zat nutrien tinggi, bahkan dapat menguraikan molekul makro yang banyak terdapat dalam limbah seperti kitin, dan membentuk biofilm. Penggunaan bakteri ini diharapkan dapat secara alami membentuk polimer biofilm pada lapisan tanah yang rentan terhadap gempa tempat bangunan berdiri lewat aliran air tanah.
Tim peneliti yang melibatkan peneliti biokimia dan teknik sipil dari Lafayete College ini mengadakan penelitian dengan cara simulasi dengan kotak model tanah pasir seukuran kopor dengan dua jenis perlakuan.
Pertama, adalah simulasi secara statis. Tangki berisi tanah pasir dicampur dengan kultur cair bakteri Flavobacterium. Pertumbuhan biofilm bakteri dipantau secara berkala dengan mikroskop, sedangkan ketahanan pasir terhadap guncangan dan gaya robekan diukur dengan menggunakan alat yang dapat mengukur daya kohesi partikel. Makin besar daya kohesi pasir, maka makin tahan terhadap guncangan dan robekan. Setelah beberapa hari, bakteri ini membentuk biofilm, ternyata daya kohesi dan soliditas pasir meningkat. Partikel-partikel pasir yang bercampur dengan koloni biofilm Flavobacterium ternyata saling rekat satu sama lain. Ketika daya kohesi tanah diukur, kekuatan tanah pasir meningkat 48 sampai 87 persen dibandingkan dengan pasir yang tidak dilapisi bakteri penghasil biofilm.
Sedangkan simulasi yang kedua yaitu dengan mengalirkan air melewati tangki sampel bakteri -yang diatur sedemikian rupa- sehingga air yang berisi kultur bakteri dapat mengaliri tanah sehingga diperoleh pasir yang dilapisi oleh biofilm. Dengan simulasi ini daya kohesi pasir ternyata meningkat 15-36 persen.
Kesimpulannya, baik simulasi statis maupun aliran air tanah untuk membuat tanah berlapis biofilm jelas menunjukkan peningkatan daya kohesi tanah. Dengan keberadaan biofilm pada tanah maka meningkatkan keresistenan tanah terhadap guncangan dan gaya robek seperti gempa. Sehingga lapisan tanah yang lebih solid untuk menstabilkan bangunan di atasnya dapat dicapai dengan cara yang lebih alami, ramah lingkungan, dan biaya pemeliharaan yang relatif rendah.
Penggunaan biofilm untuk membuat bangunan agar lebih tahan gempa memang baru sebatas penelitian awal, di mana implementasi di lapangan masih memerlukan penelitian dan pengembangan lebih lanjut. Namun, ide kreatif dengan memanfaatkan fenomena biologi untuk mengurangi kerugian robohnya bangunan (yang dapat menyebabkan korban jiwa) akibat gempa sangat orisinil, dan mungkin dapat sejalan dengan kondisi tanah air yang secara geografis dan geologis selalu akrab dengan gempa.
http://www.kamusilmiah.com/geologi/biofilm-untuk-stabilisasi-bangunan-agar-tahan-gempa/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar