Rabu, 15 Mei 2013

EKOSISTEM MANGROVE


Hutan mangrove merupakan salah satu bentuk ekosistem hutan yang unik dan khas, terdapat di daerah pasang surut di wilayah pesisir, pantai, dan atau pulau-pulau kecil, dan merupakan potensi sumberdaya alam yang sangat potensial. Secara ekologis hutan mangrove di samping sebagai habitat biota laut, juga merupakan tempat pemijahan bagi ikan yang hidup di laut bebas. Keragaman jenis mangrove dan keunikannya juga memiliki potensi sebagai wahana hutan wisata dan atau penyangga perlindungan wilayah pesisir dan pantai, dari berbagai ancaman sedimentasi, abrasi, pencegahan intrusi air laut, serta sebagai sumber pakan habitat biota laut.
            Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik (Siregar dan Purwaka, 2002). Masing-masing elmen dalam ekosistem memiliki peran dan fungsi yang saling mendukung. Kerusakan salah satu komponen ekosistem dari salah satunya (daratan dan lautan) secara langsung berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem keseluruhan. Hutan mangrove merupakan elemen yang paling banyak berperan dalam menyeimbangkan kualitas lingkungan dan menetralisir bahan-bahan pencemar.

Definisi
            Kata ‘mangrove’ merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue  dan bahasa Inggris  grove. Dalam bahasa Inggris, kata mangrove digunakan untuk  komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang surut dan untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Sedang dalam bahasa Portugis kata ’mangrove’ digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan, sedangkan kata ’mangal’ digunakan untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut. Sedangkan menurut FAO, kata mangrove sebaiknya digunakan untuk individu jenis tumbuhan maupun komunitas tumbuhan yang hidup di daerah pasang surut.
            Menurut Snedaker (1978)  dalam Kusmana (2003), hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah anaerob.  Sedangkan  menurut Tomlinson (1986), kata mangrove berarti tanaman tropis dan komunitasnya yang tumbuh pada daerah intertidal. Daerah intertidal adalah wilayah dibawah pengaruh pasang surut Sepanjang garis pantai, seperti laguna, estuarin, pantai dan  river banks. Mangrove merupakan ekosistem yang spesifik karena pada umumnya hanya dijumpai pada pantai yang berombak relatif kecil atau bahkan terlindung dari ombak, di sepanjang delta dan estuarin yang dipengaruhi oleh masukan air dan lumpur dari daratan.
            Dengan demikian secara ringkas dapat didefinisikan bahwa hutan mangrove adalah tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama pada pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pasang dan bebas genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam.  Sedangkan ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme (hewan dan tumbuhan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungannya di dalam suatu habitat mangrove. 
            Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut hutan mangrove. Antara lain tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, hutan payau dan hutan bakau. Khusus untuk penyebutan hutan bakau, sebenarnya istilah ini kurang sesuai untuk menggambarkan mangrove sebagai komunitas berbagai tumbuhan yang berasosiasi dengan lingkungan mangrove. Di Indonesia, istilah bakau digunakan untuk menyebut salah satu genus vegetasi mangrove, yaitu Rhizopora. Sedangkan kenyataannya mangrove terdiri dari banyak genus dan berbagai jenis, sehingga penyebutan hutan mangrove dengan istilah hutan bakau sebaiknya dihindari.
           
II.2  Sebaran Mangrove
            Tanaman dalam kelompok mangals beragam tetapi semuanya dapat beradaptsi terhadap habitat mereka (zona intertidal) dengan mengembangkan adaptasi fisiologis untuk mengatasi masalah anoksia, salinitas tinggi dan genangan air pasang surut yang sering. Setelah terbentuk komunitas mangrove, akar mangrove menyediakan habitat bagi  tiram dan aliran air yang lambat, sehingga meningkatkan pengendapan sedimen. Sedimen halus yang anoksik di bawah hutan mangrove berperan sebagai penampung berbagai logam berat (trace) membentuk koloid partikel, sehingga  sering menciptakan Mangrove melindungi daerah pantai dari erosi, badai topan (terutama saat badai), dan tsunami. Sistem akar mangrove sangat efisien dalam memecah energi gelombang laut, memperlambat air pasang, meninggalkan semua sedimen kecuali partikel halus ketika pasang surut.  Dengan cara ini, ekosistem mangrove membangun lingkungan yang unik dan perlindungan terhadap erosi, sehingga sering menjadi objek program konservasi.

Ciri-Ciri Ekosistem Mangrove
            Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil. Dikatakan kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanah yang berada di bawahnya termasuk tanah perkembangan muda  (saline young soil) yang mempunyai kandungan liat yang tinggi dengan nilai kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation yang tinggi. Kandungan bahan organik, total nitrogen, dan ammonium termasuk kategori sedang pada bagian yang dekat laut dan tinggi pada bagian arah daratan (Kusmana, 2002).
            Bersifat dinamis karena hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang terus serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya. Dikatakan labil karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali seperti sediakala. Dari sudut ekologi, hutan mangrove merupakan bentuk ekosistem yang unik, karena pada kawasan ini terpadu empat unsur biologis penting yang fundamental, yaitu daratan, air, vegetasi dan satwa. Hutan mangrove ini memiliki ciri ekologis yang khas yaitu dapat hidup dalam air dengan salinitas tinggi dan biasanya terdapat sepanjang daerah pasang surut (Dephut, 2004).
            Ciri-ciri terpenting dari penampakan hutan mangrove, terlepas dari habitatnya yang unik menururt Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove Indonesia (2008) adalah:
•  Memiliki jenis pohon yang relatif sedikit; 
•  Memiliki akar nafas (pneumatofora) misalnya seperti jangkar melengkung dan menjulang pada bakau Rhizophora spp., serta akar yang mencuat vertikal seperti pensil pada pidada Sonneratia spp. dan pada api-api Avicennia spp.;
• Memiliki biji yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di pohonnya,  khususnya pada Rhizophora yang lebih di kenal sebagai propagul.
•   Memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon. 
            Berdasarkan tempat hidupnya, hutan mangrove merupakan habitat yang unik dan memiliki ciri-ciri khusus, diantaranya adalah:
• Tanahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari atau hanya    tergenang pada saat pasang pertama;
•   Tempat tersebut menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat;
•  Daerahnya terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat; airnya berkadar garam (bersalinitas) payau (2 - 22 º /oo) hingga asin.

 Vegetasi Hutan Mangrove
            Soerianegara (1987)  dalam Noor et al.,  (1999) memberikan batasan hutan mangrove sebagai hutan yang tumbuh pada tanah alluvial di daerah pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut serta ciri dari hutan ini terdiri dari tegakan pohon Avicennia, Sonneratia, Aegiceras, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Scyphyphora dan Nypa. Flora mangrove terdiri atas pohon, epipit, liana, alga, bakteri dan fungi. Telah diketahui lebih dari 20 famili flora mangrove dunia yang terdiri dari 30 genus dan lebih kurang 80 spesies. Berdasarkan jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di hutan mangrove Indonesia memiliki sekitar 89 jenis,   yang terdiri atas 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit.
            Tomlinson (1986) membagi flora mangrove menjadi tiga kelompok, yakni:
1. Flora mangrove mayor (flora mangrove sebenarnya), yakni flora yang menunjukkan kesetiaan terhadap habitat mangrove, berkemampuan membentuk tegakan murni dan secara dominan mencirikan struktur komunitas, secara morfologi mempunyai bentuk-bentuk adaptif khusus (bentuk akar dan viviparitas) terhadap lingkungan mangrove, dan mempunyai mekanisme fisiologis dalam mengontrol garam. Contohnya adalah Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia dan Nypa.  
2. Flora mangrove minor, yakni flora mangrove yang tidak mampu membentuk tegakan murni, sehingga secara morfologis tidak berperan dominan dalam struktur komunitas, contoh : Excoecaria, Xylocarpus, Heritiera, Aegiceras. Aegialitis, Acrostichum, Camptostemon, Scyphiphora, Pemphis, Osbornia dan Pelliciera.  
3. Asosiasi mangrove, contohnya adalah Cerbera, Acanthus, Derris, Hibiscus, Calamus, dan lain-lain.






II.5 Zonasi Hutan Mangrove
            Menurut Bengen (2001) flora mangrove umumnya tumbuh membentuk zonasi mulai dari pinggir pantai sampai pedalaman daratan. Zonasi di hutan mangrove mencerminkan tanggapan ekofisiologis tumbuhan mangrove terhadap gradasi lingkungan. Zonasi yang terbentuk bisa berupa zonasi yang sederhana (satu zonasi, zonasi campuran) dan zonasi yang kompleks (beberapa zonasi) tergantung pada kondisi lingkungan mangrove yang bersangkutan. Beberapa faktor lingkungan yang penting dalam mengontrol zonasi adalah :
1. Pasang surut yang secara tidak langsung mengontrol dalamnya muka air (water table) dan salinitas air dan tanah. Secara langsung arus pasang surut dapat menyebabkan kerusakan terhadap anakan. 
2. Tipe tanah yang secara tidak langsung menentukan tingkat aerasi tanah, tingginya muka air dan drainase
3. Kadar garam tanah dan air yang berkaitan dengan toleransi spesies terhadap kadar garam serta pasokan dan aliran air tawar. 
4. Cahaya yang berpengaruh terhadap pertumbuhan anakan dari species intoleran seperti Rhizophora, Avicennia dan Sonneratia
5.  Pasokan dan aliran air tawar
            Menurut struktur ekosistem, secara garis besar dikenal tiga tipe formasi
mangrove, yaitu :
• Mangrove Pantai: tipe ini air laut dominan dipengaruhi air sungai. Struktur horizontal formasi ini dari arah laut ke arah darat adalah mulai dari tumbuhan pionir (Avicennia  sp), diikuti oleh komunitas campuran Soneratia alba,
Rhizophora apiculata, selanjutnya komunitas murni  Rhizophora  sp  dan akhirnya komunitas campuran Rhizophora–Bruguiera. Bila genangan berlanjut, akan ditemui komunitas murni Nypa fructicans di belakang komunitas campuran yang terakhir.
•  Mangrove Muara: pengaruh oleh air laut sama dengan pengaruh air sungai. Mangrove muara dicirikan oleh mintakat tipis Rhizophora spp. Di tepian alur, diikuti komunitas campuran  Rhizophora –  Bruguiera dan diakhiri komunitas murni N.  fructicans.
•  Mangrove sungai: pengaruh oleh air sungai lebih dominan daripada air laut, dan berkembang pada tepian sungai yang relatif jauh dari muara. Jenis-jenis mangrove banyak berasosiasi dengan komunitas daratan.
            Berdasarkan Bengen (2001), jenis-jenis pohon penyusun hutan mangrove, umumnya mangrove di Indonesia jika dirunut dari arah laut ke arah daratan biasanya dapat dibedakan menjadi 4 zonasi yaitu sebagai berikut : 
1. Zona Api-api – Prepat (Avicennia – Sonneratia)
     Terletak paling luar/jauh atau terdekat dengan laut, keadaan tanah berlumpur agak lembek (dangkal), dengan substrat agak berpasir, sedikit bahan organik dan kadar garam agak tinggi. Zona ini biasanya didominasi oleh jenis api-api (Avicennia spp) dan prepat (Sonneratia spp), dan biasanya berasosiasi dengan jenis bakau (Rhizophora spp).

     Avicennia sp                                                                         

2. Zona Bakau (Rhizophora)
     Biasanya terletak di belakang api-api dan prepat, keadaan tanah berlumpur lembek (dalam). Pada umumnya didominasi bakau (Rhizophora sp) dan di beberapa tempat dijumpai berasosiasi dengan jenis lain seperti tanjang (Bruguiera sp )

Rhizophora mucronata.

3. Zona Tanjang (Bruguiera)
    Terletak di belakang zona bakau, agak jauh dari laut dekat dengan daratan. Keadaan berlumpur agak keras, agak jauh dari garis pantai. Pada umumnya ditumbuhi jenis tanjang (Bruguiera spp) dan di beberapa tempat berasosiasi dengan jenis lain. Contoh : Bruguiera parviflora, Bruguiera sp,  Bruguiera cylindrica.             
4.  Zona Nipah (Nypa fruticans)
Terletak paling jauh dari laut atau paling dekat ke arah darat. Zona ini mengandung air dengan salinitas sangat rendah dibandingkan zona lainnya, tanahnya keras, kurang dipengaruhi pasang surut dan kebanyakan berada di tepi-tepi sungai dekat laut. Pada umumnya ditumbuhi jenis nipah (Nypa fruticans) dan beberapa spesies palem lainnya. contoh : Nypa fruticans

Fauna Aquatik Penghuni Hutan Mangrove
            Hutan mangrove berfungsi sebagai tempat mencari makan, berlindung, memijah dan pembesaran bagi berbagai jenis binatang air seperti ikan dan udang. Hutan mangrove juga menjadi tempat berkembang biak berbagai jenis binatang darat, seperti burung air dan kalong. Bahkan banyak burung pengembara yang datang dari daratan atau daerah lainnya yang memanfaatkan hutan mangrove sebagai tempat persinggahan dan mencari makan.
            Selain itu sebagai tempat hidup bagi satwa-satwa yang dilindungi. Jenis ikan yang memanfaatkan kawasan hutan mangrove sebagi tempat berlindung adalah ikan kakap putih (Lates calcarifer), bandeng (Chanos chanos), belanak (Mugil sp.), udang windu (Panaeus monodon), udang putih (P. Merguensis atau P. indicus), udang galah atau udang satang (Macrobrachium rosenbergii), dan kepiting (Scylla serrata). Kondisi perairan yang tenang serta terlindung dengan berbagai macam tumbuhan dan bahan makanan menyebabkan perairan hutan mangrove menjadi tempat yang sangat baik untuk berkembang biak bagi berbagai satwa. contoh : Lates calcarifer, Chanos chanos, Mugil sp.
         
            Terkait dengan sifat fauna yang pada umumnya sangat dinamis, maka batasan zonasi yang terjadi pada fauna penghuni mangrove kurang begitu jelas (Kartawinata dkk., 1979). Penyebaran fauna penghuni hutan mangrove memperlihatkan dua cara, yaitu penyebaran secara vertikal dan secara horisontal. Penyebaran secara vertikal umumnya dilakukan oleh jenis fauna yang hidupnya menempel atau melekat pada akar, cabang maupun batang pohon mangrove, misalnya jenis Liftorina scabra, Nerita albicilla, Menetaria annulus dan  Melongena galeodes  (Budiman dan Darnaedi, 1984; Soemodihardjo, 1977).                     Nerita albicilla                                    Menetaria annulus
            
            Sedangkan penyebaran secara horizontal biasanya ditemukan pada jenis fauna yang hidup pada substrat, baik itu yang tergolong infauna, yaitu fauna yang hidup dalam lubang atau dalam substrat, maupun yang tergolong epifauna, yaitu fauna yang hidup bebas di atas substrat. Distribusi fauna secara horisontal pada areal hutan mangrove yang sangat luas, biasanya memperlihatkan pola permintakatan jenis fauna yang dominan dan sejajar dengan garis pantai. Permintakatan yang terjadi di daerah ini sangat erat kaitannya dengan perubahan sifat ekologi yang sangat ekstrim yang terjadi dari laut ke darat. Kartawinata dan Soemodihardjo (1977) menyatakan bahwa permintakatan fauna hanya terlihat pada hutan mangrove sangat luas, tetapi tidak terlihat pada hutan mangrove yang ketebalannya sangat rendah.
            Secara ekologis, jenis moluska penghuni mangrove memiliki peranan yang besar dalam kaitannya dengan rantai makanan di kawasan mangrove, karena disamping sebagai pemangsa detritus, moluska juga berperan dalam merobek atau memperkecil serasah yang baru jatuh. Perilaku moluska jenis Telebraria palustris  dan beberapa moluska lainnya dalam memecah atau menghancurkan serasah man-
grove untuk dimakan, namun disisi lain sangat besar artinya dalam mempercepat proses dekomposisi serasah yang dilakukan mikrorganime akan lebih cepat. Disamping membantu dalam proses dekomposisi, beberapa fauna kepiting juga  membantu dalam penyebaran seedling dengan  cara  menarik propagul kedalam lubang tempat persembunyiannya ataupun  pada tempat yang  berair.  Aktifitas kepiting ini dampaknya sangat baik dalam kaitannya dengan distribusi dan kontribusi pertumbuhan dari seedling mangrove dari jenis Rhizophora sp, Bruguiera sp. dan Ceriops sp., terutama pada daerah yang sudah atau mulai terjadi konversi hutan mangrove.
            Dari fauna Gastropoda penghuni mangrove yang memiliki penyebaran yang sangat luas adalah Littorina scabra, Terebralia palustris, T. sulcata dan Cerithium patalum. Sedangkan jenis yang memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan yang sangat ekstrim adalah Littorina scabra, Crassostrea cacullata dan Enigmonia aenigmatica  (Budiman dan Darnaedi, 1984).                                           Selanjutnya disebutkan pula bahwa dari sebanyak Gastropoda penghuni hutan mangrove tersebut beberapa diantaranya dapat dimanfaatkan untuk dikonsumsi masyarakat sekitar mangrove, antara lain adalah jenis Terebralia palustris dan Telescopium telescopium. Sedangkan kelas Bivalvia yang dikonsumsi masyarakat adalah jenis Polymesoda coaxans, Anadara antiquata  dan Ostrea cucullata.
            Kelas Crustacea yang ditemukan pada ekosistem  hutan  mangrove umumnya didominasi oleh jenis kepiting (Brachyura) yang dapat dikategorikan sebagai golongan  infauna,  sedangkan beberapa jenis udang (Macrura)  yang ditemukan pada ekosistem mangrove sebagian besar hanya sebagai penghuni sementara. Dari beberapa penelitian yang dilakukan di berbagai tempat menunjukkan bahwa famili Grapsidae merupakan penyusun utama fauna Crustacea hutan mangrove (Soemodihardjo, 1977; Budiman dkk., 1977).   
            Jenis Thalassina anomala merupakan jenis udang lumpur sebagai penghuni setia hutan mangrove, karena udang ini hidup dengan cara membuat lubang dan mencari makan hanya disekitar sarang tersebut.

Sedangkan pada hutan  mangrove bersubstrat lumpur agak pejal, umumnya didominasi Uca dusumeri.  Jenis lain yang muncul pada substrat  tersebut  adalah  Uca lactea, U. vocans, U. signatus  dan U. consobrinus. Diantara kepiting mangrove yang mempunyai nilai ekonomis dan dikonsumsi masyarakat adalah Scylla serrata, S. olivacea, Portunus pelagicus, Epixanthus dentatus  dan Labnanium politum.

 Faktor Lingkungan untuk Pertumbuhan Mangrove
            Menurut Departemen  Kehutanan (1992), kondisi ekologis yang mengatur dan memelihara kelestarian ekosistem mangrove sangat tergantung pada kondisi berimbangnya jumlah ketersedian air tawar dan air masin yang cukup. Menurut Parcival and Womersley (1975) dalam Kusmana (1995) lebih lanjut menyatakan bahwa kondisi lingkungan yang mempengaruhi hutan mangrove adalah kondisi sedimentasi, erosi laut dan sungai, penggenangan pasang surut dan kondisi garam tanah serta kondisi akibat eksploitasi. Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove di suatu lokasi adalah :
- Fisiografi pantai (topografi)
- Pasang (lama, durasi, rentang)
- Gelombang dan arus
- Iklim (cahaya, curah hujan, suhu, angin)
- Salinitas
- Oksigen terlarut
- Tanah
- Hara
            Faktor-faktor lingkungan tersebut diuraikan sebagai berikut :
A. Fisiografi pantai
            Fisiografi pantai dapat mempengaruhi komposisi, distribusi spesies dan lebar hutan mangrove. Pada pantai yang landai, komposisi ekosistem mangrove lebih beragam jika dibandingkan dengan pantai yang terjal. Hal ini disebabkan karena pantai landai menyediakan ruang yang lebih luas untuk tumbuhnya mangrove sehingga distribusi spesies menjadi semakin luas dan lebar. Pada pantai yang terjal komposisi, distribusi dan lebar hutan mangrove lebih kecil karena kontur yang terjal menyulitkan pohon mangrove untuk tumbuh.
B. Pasang
            Pasang yang terjadi di kawasan mangrove sangat menentukan zonasi tumbuhan dan komunitas hewan yang  berasosiasi dengan ekosistem mangrove. Secara rinci pengaruh pasang terhadap pertumbuhan mangrove dijelaskan sebagai
berikut:
·      Lama pasang
1. Lama terjadinya pasang di kawasan mangrove dapat mempengaruhi perubahan salinitas air dimana salinitas akan meningkat pada saat pasang dan sebaliknya akan menurun pada saat air laut surut
2. Perubahan salinitas yang terjadi sebagai akibat lama terjadinya pasang merupakan faktor pembatas yang mempengaruhi distribusi spesies secara horizontal.
3. Perpindahan massa air antara air tawar dengan air laut mempengaruhi distribusi vertikal organisme.
·      Durasi pasang :
1. Struktur dan kesuburan mangrove di suatu kawasan yang memiliki jenis pasang diurnal, semi diurnal, dan campuran akan berbeda.
2. Komposisi spesies dan distribusi areal yang digenangi berbeda menurut durasi pasang atau frekuensi penggenangan. Misalnya : penggenagan sepanjang waktu maka jenis yang dominan adalah Rhizophora mucronata dan jenis Bruguiera serta Xylocarpus kadang-kadang ada.
·      Rentang pasang (tinggi pasang):
1. Akar tunjang yang dimiliki Rhizophora mucronata menjadi lebih tinggi pada lokasi yang memiliki pasang yang tinggi dan sebaliknya
2.  Pneumatophora Sonneratia sp  menjadi lebih kuat dan panjang pada lokasi yang memiliki pasang yang tinggi.
C. Gelombang dan Arus
1. Gelombang dan arus dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem mangrove. Pada lokasi-lokasi yang memiliki gelombang dan arus yang cukup besar biasanya hutan mangrove mengalami abrasi sehingga terjadi pengurangan luasan hutan.
2. Gelombang dan arus juga berpengaruh langsung terhadap distribusi spesies misalnya buah atau semai Rhizophora terbawa gelombang dan arus sampai menemukan substrat yang sesuai untuk menancap dan akhirnya tumbuh.
3. Gelombang dan arus berpengaruh tidak langsung terhadap sedimentasi pantai dan pembentukan padatan-padatan pasir di muara sungai. Terjadinya sedimentasi dan padatan-padatan pasir ini merupakan substrat yang baik untuk menunjang pertumbuhan mangrove.
4. Gelombang dan arus mempengaruhi daya tahan organisme akuatik melalui transportasi nutrien-nutrien penting dari mangrove ke laut. Nutrien-nutrien yang berasal dari hasil dekomposisi serasah maupun yang berasal dari run off daratan dan terjebak dihutan mangrove akan terbawa oleh arus dan gelombang ke laut pada saat surut.
D. Iklim
            Mempengaruhi perkembangan tumbuhan dan perubahan faktor fisik (substrat dan air). Pengaruh iklim terhadap pertumbuhan mangrove melalui cahaya, curah hujan, suhu, dan angin. Penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. Cahaya
•  Cahaya  berpengaruh terhadap proses fotosintesis, respirasi, fisiologi, dan struktur fisik mangrove
•  Intensitas, kualitas, lama (mangrove adalah tumbuhan long day plants yang membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi sehingga sesuai untuk hidup di daerah tropis) pencahayaan mempengaruhi pertumbuhan mangrove
•  Laju pertumbuhan tahunan mangrove yang berada di bawah naungan sinar matahari lebih kecil dan sedangkan laju kematian adalah sebaliknya
•  Cahaya berpengaruh terhadap perbungaan dan germinasi dimana tumbuhan yang berada di luar ke lompok (gerombol) akan menghasilkan lebih banyak bunga karena mendapat sinar matahari lebih banyak daripada  tumbuhan yang berada di dalam gerombol.
2. Curah hujan
•  Jumlah, lama, dan distribusi hujan mempengaruhi perkembangan tumbuhan mangrove
•  Curah hujan yang terjadi mempengaruhi kondisi udara, suhu air, salinitas air dan tanah
• Curah hujan optimum pada suatu lokasi yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mangrove adalah yang berada pada kisaran 1500-3000 mm/tahun
3. Suhu
•   Suhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan respirasi)
•  Produksi daun baru Avicennia marina terjadi pada suhu 18-20º C dan jika    suhu lebih tinggi maka produksi menjadi berkurang
•  Rhizophora stylosa, Ceriops, Excocaria, Lumnitzera  tumbuh optimal pada suhu 26-28º C
•  Bruguiera tumbuh optimal pada suhu 27º C, dan Xylocarpus tumbuh optimal
    pada suhu 21-26º C
E. Salinitas                    
1.  Salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk tumbuh berkisar antara 10-30 ppt
2.  Salinitas secara langsung dapat mempengaruhi laju pertumbuhan dan zonasi mangrove, hal ini terkait dengan frekuensi penggenangan
3. Salinitas air akan meningkat jika pada siang hari cuaca panas dan dalam keadaan pasang
4.  Salinitas air tanah lebih rendah dari salinitas air
F. Oksigen Terlarut
1.  Oksigen terlarut berperan penting dalam dekomposisi serasah karena bakteri dan fungsi yang bertindak sebagai dekomposer membutuhkan oksigen untuk kehidupannya.
2.  Oksigen terlarut juga penting dalam proses respirasi dan fotosintesis 
3.  Oksigen terlarut berada dalam kondisi tertinggi pada siang hari dan kondisi terendah pada malam hari
G. Substrat           
1. Karakteristik substrat merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan mangrove
2.  Rhizophora mucronata dapat tumbuh baik pada substrat yang dalam tebal dan berlumpur
3.  Avicennia marina dan Bruguiera hidup pada tanah lumpur berpasir
4.  Tekstur dan konsentrasi ion mempunyai susunan jenis dan kerapatantegakan Misalnya jika komposisi substrat lebih banyak liat (clay) dan debu (silt) maka tegakan menjadi lebih rapat
5. Konsentrasi kation Na>Mg>Ca atau K akan membentuk konfigurasi hutan Avicennia/Sonn ratia/Rhizophora/Bruguiera
6.  Mg>Ca>Na atau K yang ada adalah Nipah
7.  Ca>Mg, Na atau K yang ada adalah Melauleuca
H. Hara
            Unsur hara yang terdapat di ekosistem mangrove terdiri dari hara inorganik dan organik.
1.  Inorganik : P,K,Ca,Mg,Na
2.  Organik : Allochtonous dan Autochtonous (fitoplankton, bakteri, alga)
            Macnae dan Kalk (1962) dalam Sukardjo (1981) menyatakan bahwa tinggi
pohon-pohon mangrove dipengaruhi oleh faktor-faktor salinitas air, drainase air dan pasang surut. Biasanya pada daerah dengan air tanah mendekati permukaan dan mempunyai aerasi baik, kondisi dan tinggi vegetasinya seragam. Kemudian vegetasi mangrove akan menjadi pendek jika mendekati zona dengan kondisi permukaan air jauh dari permukaan.


REFERENSI

Bengen, D.G. 2001.  Pedoman Teknis Pengenalan  dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan . Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
Budiman, A. dan D. Darnaedi. 1984. Struktur komunitas moluska di hutan mangrove Morowali, Sulawesi Tengah. Pros. Sem. II Ekos. Mangrove. MAB-LIPI: 175-182.
Budiman, A., M. Djajasasmita dan F. Sabar. 1977. Penyebaran keong dan kepiting hutan bakau Wai Sekampung, Lampung. Ber. Biol. 2:1-24.
Departemen Kehutanan. 2004.  Statistik Kehutanan Indonesia,  Frorestry Statistics of Indonesia 2003. Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta.
Kartawinata, K., S. Adisoemarto, S. Soemodihardjo dan I. G. M. Tantra 1979. Status pengetahuan hutan bakau di Indonesia  Pros. Sem. Ekos. Hutan Mangrove: 21-39.
Kusmana, C., S. Takeda, and H. Watanabe. 1995.  Litter Production of  Mangrove Forest in East Sumatera, Indonesia. Prosidings Seminar V: Ekosistem Mangrove, Jember, 3-6  Agustus 1994: 247-265. Kontribusi MAB Indonesia No. 72-LIPI, Jakarta.

Soemodihardjo, S. 1977. Beberapa segi biologi fauna hutan payau dan tinjanan komunitas mangrove di Pulau Pari. Oseana 4 & 5:24-32.
Soerianegara, I. 1987. Masalah penentuan jalur hijau hutan mangrove. Pros. Sem.  III Ekos. Mangrove. MAB-LIPI: 3947.
Tomlinson, P.B. 1986. The botany of mangrove. Cambridge University Press.  Cambridge, London, New York, New Rochelle, Melbourne, Sydney: p. 413.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar