Negara beriklim tropis seperti Indonesia merupakan
penghasil kelapa yang cukup besar. Menurut data Asian and Pasific Coconut
Community (APCC) tahun 1997, Indonesia merupakan negara penghasil kelapa
terbesar di dunia dengan luas areal produksi 3,78 juta hektar serta jumlah
produksi 2,58 juta ton. (Taufikkurahman, 1988). Tanaman kelapa di Indonesia
pada umumnya merupakan komoditi tradisional yang menyatu dan akrab dengan
masyarakat. Menurut Akuba (1990), lebih dari 90
% areal kelapa di Indonesia merupakan perkebunan rakyat. Kontribusi tanaman
kelapa Indonesia terhadap perkebunan nasional sekitar 26 %, sedangkan terhadap
dunia dan negara-negara anggota APCC masing-masing sekitar 27 % dan 33 %
(Arancon, 1999).
Tanaman kelapa di
Indonesia menyebar hampir di seluruh wilayah nusantara Data statistik
perkebunan nasional menunjukkan bahwa potensi tanaman kelapa terbesar terdapat
di Sumatera (1.171.860 ha) dengan sentranya di Propinsi Riau, kemudian diikuti
oleh Jawa (881.162 ha), Sulawesi (664.148 ha), Nusa Tenggara (348.164 ha),
Maluku dan Irian (275.638 ha), dan Kalimantan (253.485 ha). Berbeda dengan di
luar Jawa yang umumnya lokasi perkebunannya terkonsentrasi, tanaman kelapa di
Jawa lokasinya menyebar khususnya di sepanjang pantai selatan.
Walaupun kelapa
merupakan tumpuan pendapatan bagi masyarakat di daerah-daerah tersebut di atas,
tetapi pendapatan petani kelapa di daerah tersebut masih sangat rendah, hal
mana karena pemanfaatan potensi kelapanya yang masih belum optimal. Kelapa
rakyat pada daerah-daerah tersebut (khususnya di luar Jawa) pada umumnya
dimanfaatkan petani untuk dibuat kopra yang selanjutnya dijual ke pabrik
penggilingan minyak. Dengan pola pemanfaatan yang selama ini ada, tempurung,
sabut, dan air kelapa praktis tidak termanfaatkan secara maksimal, bahkan
cenderung diperlakukan sebagai limbah. Keadaan ini terutama banyak dijumpai di
sentra-sentra produksi luar jawa Padahal dengan sentuhan teknologi,
bagian-bagian dari kelapa tersebut dapat dimanfaatkan untuk bahan baku industri
yang produknya mampu berkompetisi di pasar domestik maupun internasional,
sehingga kalau hal ini berjalan dengan baik, maka pendapatan petani kelapa akan
meningkat.
Salah satu bentuk
industri yang berpotensi untuk dikembangkan dan sesuai untuk skala kecil sampai
menengah adalah pengolahan sabut untuk dijadikan serat dan abu sabut. Di
samping prospek pasarnya yang baik, laporan yang disampaikan oleh Rumokoi
(1990) menyebutkan bahwa sabut merupakan komponen berat terbesar (38-44%) dari
buah kelapa, dibanding dengan komponen lainnya seperti tempurung (21-28%) dan
air kelapa (29-35%). Menurut United Coconut Association of the Philippines
(UCAP), dari setiap butir kelapa dapat diperoleh sekitar 0,4 kg sabut yang
mengandung sekitar 30% serat. Areal tanaman kelapa nasional yang luasnya 3,78 juta hektar, sama artinya dengan kesanggupan
Indonesia untuk menyediakan bahan baku industri pengolahan sabut kelapa sekitar
10,4 juta ton per tahun.
Permasalahan :
1.
Bagaimana prospek pasar sabut olahan limbah sabut kelapa
menjadi serat kelapa (coco fiber)?
2.
Proses dan teknologi pengolahan limbah
sabut kelapa menjadi serat kelapa (coco fiber)?
3.
Bagaimana strategi pengembangan usaha
serat kelapa (coco fiber) berdasarkan analisis ekonomi dan lingkungan di
Riau?
Ruang Lingkup
Pemanfaatan limbah
sabut kelapa menjadi serat kelapa (coco
fiber) memerlukan studi mengenai pola pembiayaannya yang mencakup
aspek-aspek sebagai berikut:
1. Aspek pemasaran
yang meliputi antara lain kondisi permintaan (termasuk pasar ekspor),
penawaran, persaingan, harga, proyeksi permintaan pasar;
2. Aspek produksi
yang meliputi gambaran komoditi, persyaratan teknis produk,
3. Aspek keuangan
yang meliputi komponen biaya, pendapatan, hambatan dan kendala
4. Aspek
sosial-ekonomi yang meliputi pengaruh pengembangan usaha komoditi yang diteliti
terhadap perekonomian, penciptaan lapangan kerja, dan pengaruh terhadap sektor
lain;
5. Aspek dampak
lingkungan.
Prosepek Pasar
Serat Sabut Kelapa Olahan (coco fiber)
1. Jenis dan Kegunaan Produk Serat Sabut Kelapa Olahan (coco fiber)
Produk setengah jadi dari industri
pengolahan sabut kelapa adalah serat (coir fibre) dan abu gabus (coir dust).
Serat sabut (serabut) kelapa tua ini setelah dicampur dengan bahan lateks dan
dipres akan menghasilkan sheet, dimana sheet ini selanjutnya dapat dijadikan
bahan baku berbagai industri seperti industri kasur (springbed), jok kendaraan, insulasi dinding bangunan yang berilkim
subtropis (peredam panas), peredam suara, matras, dan lain-lain. Di samping itu
untuk jenis sabut tertentu seperti sabut yang banyak terdapat di Srilangka,
serat sabut yang dihasilkan bentuknya panjang (di atas 15 cm) dan berwarna
putih (white coir).
Serat jenis ini sangat baik untuk bahan
baku pembuatan benang berkualitas (coir yarn), dan benang yang dihasilkan
merupakan bahan dasar pembuatan tali (rope), karpet (rug), atau kain pembersih.
Untuk produk jenis bristles fiber dapat diperoleh dengan cara melakukan
penyisiran terhadap serat pilihan. Sebagai perbandingan, Trubus (Maret 1999)
melaporkan kalau harga ekspor serat asalan (coir fibre) pada awal tahun 1999
sebesar US $ 0.1 per kg, maka harga serat hasil sisiran adalah US$ 1 per kg,
sedangkan harga sheet menjadi US$ 5.5 per kg.
Pada beberapa waktu yang lalu, produk
industri pengolahan sabut kelapa yang bernilai ekonomi hanya terbatas pada
seratnya saja, sedangkan abunya masih dianggap sebagai limbah. Sekarang setelah
diketahui pemanfaatan dari abu sabut kelapa, justru abu inilah yang ternyata
mempunyai nilai ekonomi tinggi dibanding dengan serat. Abu atau serbuk gabus
sabut kelapa (coir dust) dapat dimanfaatkan di antaranya untuk media pupuk
organik, pot bunga, pengisi papan, dan media tanam (misalnya untuk campuran
media penanaman rumput pada lapangan golf dan lapangan sepakbola di Amerika dan
Eropa, serta sebagai media tanam pada teknik budidaya dengan sistem
hidroponik). Menurut informasi dari PT. Sukaraja Putra Sejati di Bandung, abu
sabut kelapa banyak mengandung unsur Kalium (K) yang dibutuhkan oleh tanaman.
1.2. Potensi Pasar Produk Sabut Olahan
Selama ini, produk sabut olahan banyak
mendapat saingan dari bahan sintetis. Sesuai dengan Konvensi WINA dan Montreal
Protocol, produk sintetis yang dinilai merusak lingkungan ini secara bertahap
akan dihapuskan. Di samping itu banyak negara maju yang lebih menyenangi sabut
olahan alami karena mempunyai keunggulan karakteristik dibanding bahan lainnya,
seperti lebih tahan lama (tidak mudah lapuk), tingkat kelenturannya tinggi, tidak
bau, tidak berubah warna, dan tidak mencemari lingkungan (Anonim, 1999).
Hal-hal tersebut membuat permintaan serabut olahan dunia belakangan ini
cenderung meningkat, yang akhirnya berujung kepada semakin meningkatnya harga
produk sabut olahan seperti dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perkembangan Harga Serabut dan Produk Serabut Tahun
1992-1996 (US $/MT)
Jenis Produk
|
1992
|
1993
|
1994
|
1995
|
1996
|
Serat pendek
(short fibre)
|
162
|
161
|
193
|
235
|
293
|
Serat panjang
(Bristle fibre)
|
501
|
581
|
532
|
582
|
625
|
Benang/tali
(coir yarn)
|
574
|
588
|
665
|
683
|
675
|
Tikar
( matting /sheet)
|
1.253
|
1.365
|
1.589
|
1.628
|
1.783
|
Sumber : APCC (1996)
Deresiasi
nilai rupiah terhadap mata uang asing
khususnya dolar Amerika, merupakan pendorong usaha yang cukup menggembirakan
bagi masyarakat Indonesia untuk mengekspor produk sabut olahan. Karena itu
belakangan ini mulai banyak bermunculan bisnis pengolahan sabut kelapa di
Indonesia, baik di Jawa maupun di luar Jawa.
Permintaan produk sabut kelapa olahan justru banyak datang dari
luar negeri. Produk-produk utama dari sabut kelpa olahan yang banyak dibutuhkan
dunia antara lain coir fibre, coir yarn, coir mats, matting, dan rugs. Menurut
data APCC yang dikutip oleh Anonim (1998), permintaan produk sabut olahan dapat
diidentifikasi ke dalam tiga kelompok besar seperti disampaikan pada Tabel 2.
Pangsa pasar terbesar komoditi sabut olahan adalah Eropa Barat dan Amerika.
Untuk coir fibre, permintaan terbesar datang dari Inggris dan Jerman, sedangkan
untuk coir yarn pasar terbesarnya adalah Perancis, Amerika, dan Belanda.
Kemudian untuk mats, matting, dan rugs, negara-negara yang paling banyak
membutuhkan adalah Inggris, Jerman, Itali, dan Perancis. Untuk Asia,
negara-negara yang menjadi langganan pasar bagi produk sabut olahan Indonesia
adalah Hongkong, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Sedangkan untuk Eropa
adalah Inggris, Jerman, dan Belgia (Rahman, 1999).
Pasar sabut kelapa olahan dunia saat ini masih didominasi oleh
Srilangka dan India, disusul kemudian oleh Malaysia, Thailand, dan
negara-negara Afrika. Indonesia walaupun mempunyai areal tanaman kelapa terluas
di dunia, ternyata masih belum berperan banyak dalam meramaikan pasar sabut
kelapa olahan dunia. Sebagai perbandingan, pada tahun 1977 Indonesia mengekspor
595 ton serat sabut, sementara India dan Srilangka masing-masing mengekspor
46.223 ton dan 51.973 ton (Taufikkurahman, 1998). Ekspor sabut kelapa olahan
yang dilakukan Indonesia sampai saat ini masih berbentuk setengah jadi, yaitu
dalam bentuk abu kering (coir dust) dan serat yang sudah dipres (sheet). Karena
itu merupakan tantangan bagi investor Indonesia dalam mengisi program nyata
pembangunan ekonomi berbasis muatan lokal dan berdaya saing.
Tabel 2. Permintaan Sabut Olahan oleh Pasar
Luar dan Dalam Negeri
Pasar Luar Negeri
|
Volume (Ton)
|
Industri Dalam Negeri
|
Volume (Ton)
|
Negara Eropa
|
168.400
|
Industri Springbed
|
74.854
|
Amerika
|
115.600
|
Industri Jok
Kendaraan
|
1.800
|
Asia dll.
|
130.000
|
Industri Meubelair
|
15.376
|
Sumber : APCC (1996)
Proses Dan Teknologi Pengolahan Sabut Kelapa
2.1. Proses Produksi Serat Kelapa (Coco Fiber)
Bentuk produk dari sabut kelapa yang
diolah pada industri ini adalah serat panjang (bristle fibre), serat pendek
(short fibre), abu atau gabus lembut (dust). Pada sebagian besar industri,
karena jenis glondongan sabutnya sangat bervariasi serta karena keterbatasan
peralatan, serat panjang dan serat pendek biasanya tidak bisa dipisahkan, kecuali
ada perlakuan khusus (penyisiran). Pada peralatan pengolahan secara
tradisionil, pengolahan sabut kelapa dilakukan dengan cara direndam dahulu di
dalam air selama beberapa hari, dengan maksud untuk melunakkan dan membusukkan
gabus. Serat akan dapat dengan mudah dipisahkan dari gabus. Proses dari
pengolahan sabut kelapa menjadi serat (coco
fiber) menurut Sitohang, dkk. (2013) adalah sebagai berikut:
1.
Penguraian; Bahan baku yaitu sabut kelapa yang telah dikupas kemudian diurai
ke dalam mesin pengurai. Pada proses ini sabut kelapa tersebut akan terurai
menjadi coco fiber dan coco peat.
2.
Penjemuran; Coco fiber yang dihasilkan di
stasiun penguraian dibawa ke tempat penjemuran. Coco fiber tersebut
dikeringkan dengan menggunakan panas matahari. Proses penjemuran berlangsung
sekitar 2-3 jam setiap harinya. Proses ini bertujuan untuk menurunkan kadar air
sehingga diperoleh coco fiber yang kering sehingga coco peat yang
tersisa dapat terpisah dengan mudah dari coco fiber.
3.
Pengayakan; Coco fiber yang dibawa dari
stasiun penjemuran masih mengandung coco peat. Proses ini bertujuan
untuk memisahkan coco peat dari coco fiber sehingga diperoleh coco
fiber yang murni. Proses pengayakan menggunakan alat pengayak yang
digerakkan dengan dynamo motor. Alat pengayak mampu mengayak 200 kg coco
fiber dalam waktu satu jam.
4.
Pengepresan; Coco fiber yang telah diayak
dibawa ke stasiun pengepresan. Coco fiber dimasukkan ke dalam mesin
press sampai coco fiber menyentuh besi press. Kemudian pintu mesin press
ditutup dan mesin dihidupkan. Mesin press memanfaatkan tenaga hidrolik. Proses
pengepresan dilakukan sampai coco fiber padat.
5.
Pengepakan/Pengemasan (Packing);
Coco
fiber hasil dari stasiun pengepresan kemudian dikemas
secara manual dengan menggunakan tali untuk mendapatkan bale-bale coco fiber.
Proses ini dilakukan untuk mendapatkan coco fiber berbentuk bale dengan
ukuran 42 x 52 x 80 cm dan berat 70 kg.
2.2. Teknologi Pengolahan Sabut
Kelapa Menjadi Serat (coco fiber)
Mesin pengolahan sabut
kelapa menjadi serat dan abu belakangan mulai banyak berkembang dan dapat
diperoleh secara komersial, baik yang dihasilkan oleh lembaga litbang maupun
oleh swasta. Kegiatan pokok pada proses pengolahan sabut kelapa dengan
menggunakan mesin tersebut pada prinsipnya terdiri dari empat tahap, yaitu (1)
pelunakan sabut, (2) penyeratan, (3) pembersihan dan pengayakan, serta (4)
pengepakan (untuk mempermudah pengangkutan).
Pada
industri yang produknya diekspor, mesin pengolah sabut kelapa yang dipakai menurut
Subyanto (2000) umumnya didatangkan dari luar negeri, terutama buatan Malaysia
atau India. Mesin jenis impor ini kapasitasnya cukup besar dan kualitas
hasilnya sangat memadai untuk memenuhi spesifikasi sesuai permintaan pasar
ekspor. Seperti mesin yang dipakai oleh PT. Sumber Mas Minahasa Maesa di Bitung
(Sulut) yang buatan Malaysia, dalam setiap jam mampu menghasilkan sekitar 750
kg serat dan 1.200 kg abu. Pada mesin jenis ini, fungsi pelunakan dan
penyeratan sabut dikerjakan oleh satu komponen, tetapi dilakukan dua kali (ada
dua komponen mesin yang sama) sehingga hasil serat yang masuk ke penyaring
(revolving screener) sudah agak bersih. Setelah serat dan abu yang dihasilkan
dikeringkan (dengan panas matahari dan angin), selanjutnya dipres dengan mesin
pres hidraulik agar mempermudah dan menekan biaya pengangkutan, karena
volumenya menjadi rendah.
Pada mesin jenis MTM1 buatan dalam
negeri (generasi terbaru), setiap tahapan pengolahan tersebut dilakukan oleh
komponen yang berbeda, karena pada paket mesin jenis ini komponennya terdiri
dari unit husk crusher (pelunak sabut glondongan), decorticator (penyerat
sekaligus pemisah serat panjang dengan campuran abu dan serat pendek),
revolving screener (penyaring yang berfungsi membersihkan serat panjang dari
abu), serta packing press (pengepak hasil). Untuk memperlancar aliran bahan
dari decorticator ke penyaring, mesin juga dilengkapi dengan conveyor. Tenaga
penggerak dari mesin ini adalah generator yang secara keseluruhan berjumlah 91
HP. Mesin jenis ini mampu mengolah sekitar 1000 kg sabut kelapa glondongan per
jam dengan output yang dihasilkan berupa serat panjang sebanyak 150 kg dan abu
sebanyak 375 kg. Mesin pres pada jenis ini juga bekerja secara hidraulik,
dengan daya tekan sebesar sekitar 25 ton. Kualitas produk yang dihasilkan oleh
mesin jenis MTM1 ini cukup memadai untuk tujuan ekspor. Mesin jenis MTM1 ini
tampaknya sesuai untuk usaha skala menengah.
Jenis mesin buatan lokal lainnya yang
kapasitasnya lebih kecil tetapi sudah dioperasikan secara komersial adalah
mesin yang dipakai oleh PT. Sukaraja Putra Sejati di Bandung. Pada mesin jenis
ini fungsi pelunakan dan penyeratan sabut dilakukan sekaligus, sehingga pada
prinsipnya mesin ini hanya terdiri dari dua komponen utama, yaitu pelunak dan
penyerat (crusher) serta penyaring berputar (revolving screener). Untuk
menggerakkan kedua alat ini diperlukan tenaga dua penggerak, yang masing-masing
besarnya 5 HP (untuk crusher) dan 1 HP (untuk screener). Namun demikian
kelebihan dari paket mesin ini adalah dilengkapi dengan mesin pengering, dengan
prinsip kerja pengaliran udara panas yang dimunculkan dari pembakaran minyak
tanah oleh kompor. Di samping mesin pengering, paket mesin ini juga dilengkapi
dengan mesin pres dengan sistem ulir (manual). Mesin ini mempunyai kemampuan
olah sebesar 400 kg input (sabut glondongan) per jam, dan mampu menghasilkan
output sampai dengan 80 kg serat dan 80 kg abu. Mesin jenis ini tampaknya
sesuai untuk usaha skala kecil.
Jenis mesin generasi sebelumnya serta berkapasitas lebih kecil
lagi adalah mesin rancangan Balai Besar Industri Kimia (BBIK) - Deperindag
maupun BPPT. Kedua jenis mesin ini prinsip kerjanya hampir sama, walaupun bentuknya
berbeda. Pada jenis mesin ini, fungsi pelunak dan penyerat dilakukan komponen
crusher, yang digerakkan oleh generator sebesar 10 HP (mesin BPPT). Kelebihan
mesin rancangan BPPT adalah dilengkapi dengan rancangan unit pengalir bahan
dari crusher ke penyaring, sehingga dapat menghemat tenaga kerja (pemindahan
bahan yang keluar dari crusher ke penyaring)(Anonim, 1997). Namun demikian
kemampuan olah dari mesinnya dinilai masih kecil, yaitu sebesar sekitar 40 kg
input per jam, dibanding dengan rancangan BBIK sebesar sekitar 75 kg input per
jam. Bekerjasama dengan Balai Penelitian Kelapa (Balitka) Manado, alat
rancangan BPPT ini masih senantiasa dalam penyempurnaan, agar diperoleh
rancangan mesin yang layak operasional, baik secara teknis, ekonomis, dan sosial.
Namun demikian kedua mesin ini prinsip kerjanya sangat sederhana dan harganya
(biaya pembuatannya) relatif murah sehingga memungkinkan untuk dioperasikan
oleh pelaku setingkat kelompok tani maupun KUD. Untuk penggunaan dalam negeri
seperti pengisi jok, outputnya cukup bisa diandalkan.
2.3. Strategi Pengembangan Limbah Sabut Kelapa
Menjadi Serat Kelapa (Coco Fiber) Berdasarkan Beberapa Aspek Ruang
Lingkup
A. Pola
Pembiayaan
Hasil wawancara yang dilakukan oleh Bank Indonesia (2010)
dengan responden pengusaha kecil serat sabut kelapa menunjukkan bahwa
keseluruhan kebutuhan biaya untuk operasi usaha berasal dari dana sendiri.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari responden bank umum yang beroperasi
di Kabupaten Ciamis, tercatat hanya satu Bank yang memberikan fasilitas kredit kepada
pengusaha kecil industri serat sabut kelapa, dan inipun terbatas hanya kepada 2
orang pengusaha.
Kredit yang diberikan adalah berupa kredit investasi
dengan jumlah masing-masing pengusaha Rp. 40 juta, dengan suku bunga 21 % dan
jangka waktu pengembalian 3 tahun. Kredit investasi tersebut diberikan atas
pertimbangan bahwa usaha industri sabut kelapa yang dibiayai layak dan
menguntungkan serta adanya mitra sebagai penjamin pasar produk serat sabut
kelapa, serta jaminan dalam bentuk sertifikat tanah/bangunan tempat usaha dan
mesin yang dibiayai. Hal ini tentu tidak jauh berbeda dengan daerah lain
seperti di Riau.
B.
Aspek Pemasaran
a.
Permintaan
Serat sabut kelapa atau dalam perdagangan dunia
dikenal dengan Coconut Fiber atau Coconut Coir, merupakan bahan baku untuk
berbagai industri, antara lain industri karpet, dashboard dan jok untuk
kendaraan, jok perabot rumah tangga, matras, spring bed, kemasan serta tali.
Karakteristik produk yang bersifat heat retardant dan biodegradable, serta
kecenderungan konsumen produk industri dalam penggunaan bahan alami mendorong peningkatan
permintaan terhadap serat sabut kelapa. Pada tahun 1990 kebutuhan dunia terhadap
serat sabut kelapa sudah mencapai 75,7 ribu ton dan terus menunjukkan kecenderungan
meningkat.
Kebutuhan serat sabut kelapa dunia tersebut masih
didominasi oleh Srilanka, India, Malaysia, Thailand dan negara-negara Afrika
(Palungkun, 1992).
Walaupun
ekspor serat sabut kelapa Indonesia menunjukkan peningkatan sejak tahun 1998,
hanya sebagian kecil saja dari kebutuhan dunia tersebut yang dipasok oleh
Indonesia (Tabel 3.1). Negara tujuan ekspor serat sabut kelapa Indonesia adalah
Inggris, Jerman, Belgia, Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Singapura, Malaysia dan
Australia. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari responden pengusaha sabut
kelapa, setiap bulan diperkirakan China membutuhkan sekitar 50.000 ton serat
sabut kelapa per bulan untuk memenuhi kebutuhan industrinya.
Keberadaan dan berkembangnya industri perabot rumah
tangga, khususnya Spring Bed di Indonesia merupakan pasar potensial untuk
industri serat
sabut
kelapa. Berdasarkan data Statistik Industri Besar dan Sedang (1998), secara
Nasional penggunaan serat sabut kelapa sebagai bahan baku tercatat sebesar
2.123,9 ton. Dari total kebutuhan bahan serat sabut kelapa yang bernilai
sekitar Rp. 11,7 milyar, senilai Rp. 1,99 milyar (17,1 persen) berasal dari
impor dan dari segi volume sebesar 2,53 persen berasal dari impor. Apabila
dibandingkan dengan volume ekspor serat sabut kelapa pada tahun yang sama
(1998), yaitu sebesar 19,1 ton, maka berarti bahwa pasar serat kelapa masih
didominasi untuk kebutuhan domestik.
b.
Penawaran
Berdasarkan Statistik Industri Besar dan Sedang
(1998), produksi serat sabut kelapa tercatat oleh Industri Besar dan Sedang
hanya sebesar 423 ton. Apabila dibandingkan dengan penggunaan serat sabut
kelapa oleh industri besar dan sedang pada tahun yang sama yang berasal dari
produksi lokal sebesar 2070,1 ton maka dapat ditafsirkan bahwa sebagian besar
kebutuhan tersebut, yaitu sebesar 1647,1 ton dipasok oleh usaha kecil /
menengah. Hal ini menunjukkan bahwa produsen serat sabut kelapa sebagian besar
adalah usaha kecil / menengah. Statistik jumlah usaha kecil (industri kecil atau
industri rumah tangga) dan produksi serat sabut kelapa yang dihasilkan secara
Nasional masih belum tersedia. Berdasarkan studi kasus di Kabupaten Ciamis,
setiap jumlah unit usaha kecil industri serat sabut kelapa di Kabupaten Ciamis
tercatat sebanyak 29 unit usaha yang sebagian besar (86,2 % atau 25 unit usaha)
masih berstatus sebagai industri kecil non-formal. Kapasitas produksi setiap unit
usaha bervariasi berkisar antara 55 - 300 ton per tahun atau rata-rata sekitar
100 ton per tahun.
c.
Harga
Harga serat sabut kelapa di pasaran ekspor berdasarkan
hasil wawancara adalah sebesar US $ 210 per ton (FOB), sedangkan harga CIF di
negara tujuan (Rotterdam) adalah sebesar US $ 360 per ton. Harga serat sabut kelapa
Indonesia di pasaran ekspor relatif lebih rendah dibandingkan dengan serat
sabut kelapa ex. India, yang bernilai sekitar US $ 290 - 320 per ton (FOB),
akan tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan produksi Srilanka yaitu sebesar US
$ 220 - 270 per ton (FOB). Merujuk kepada perkembangan harga mattress fiber
produksi Srilanka, terdapat kecenderungan kenaikan harga dalam periode 1997 -
1999, yaitu rata-rata sebesar 3 persen per tahun.
d.
Persaingan dan Peluang Pasar
Potensi persaingan industri serat sabut kelapa dapat
ditinjau dari aspek persaingan produk substitusi dan persaingan industri sejenis.
Dari aspek persaingan produk substitusi, khususnya sebagai bahan baku untuk
industri jok kursi (mobil dan rumah tangga), dash board mobil, tali dan produk sejenis,
serat sabut kelapa menghadapi persaingan dengan industri produk sintetis
seperti karet busa dan plastik. Walaupun demikian, karakteristik fisika-kimia
serat sabut kelapa yang spesifik dan biodegradable serta berfungsi sebagai heat
retardant menjadikan serat sabut kelapa mempunyai fungsi yang spesifik yang
tidak dapat digantikan oleh produk sintetis. Selain itu kesadaran konsumen
terhadap kelestarian akan lingkungan dan kecenderungan untuk kembali menggunakan
produk alami, menyebabkan serat sabut kelapa mempunyai peluang pasar dan mampu
bersaing dengan produk-produk sintetis. Selain itu karakteristik fisika-kimia
serat sabut kelapa menjadikan serat sabut kelapa berpotensi sebagai bahan baku
untuk pengembangan produk industri seperti geotextile.
Aspek persaingan industri sejenis, serat sabut
kelapa Indonesia dihadapkan kepada negara-negara pesaing yang lebih maju dalam
hal teknologi produksi serat sabut kelapa, sehingga mempunyai kualitas yang lebih
unggul. Persaingan tersebut juga dihadapi oleh karena perkembangan aplikasi
teknologi yang lebih maju dalam membuat produk industri dengan bahan baku serat
sabut kelapa. Negara-negara pesaing Indonesia tersebut antara lain adalah
Srilanka, India, Thailand dan Philipina. Ditinjau dari kecenderungan permintaan
dunia terhadap serat sabut kelapa yang meningkat, serta kontribusi Indonesia
yang masih sangat kecil dalam perdagangan dunia, serat sabut kelapa Indonesia
mempunyai keunggulan komparatif (potensi produksi sabut kelapa) dan mempunyai
peluang yang besar. Peluang tersebut dapat diraih dengan syarat adanya
perbaikan dan pengembangan teknologi proses sehingga menghasilkan serat yang memenuhi
persyaratan kualitas yang diinginkan pasar.
e.
Jalur Pemasaran Produk
Rantai pemasaran serat sabut kelapa secara garis
besar dapat dilihat pada Grafik 2. Usaha kecil serat sabut kelapa secara umum
tidak dapat langsung memasarkan produknya kepada eksportir sabut kelapa. Hal
ini karena persyaratan mutu produk usaha kecil masih belum dapat memenuhi persyaratan
mutu yang diinginkan. Selain itu, ketiadaan fasilitas mesin pengepress sabut -
menyebabkan biaya transportasi per Kg produk untuk dipasarkan langsung ke
eksportir menjadi mahal dan tidak layak.
f.
Kendala dan Hambatan
Berdasarkan hasil studi kasus industri kecil
pengolahan sabut kelapa di pada umumnya, kendala dan hambatan yang dihadapi
oleh pengusaha adalah relatif mahalnya biaya transportasi produk untuk
pemasaran langsung ke industri pengguna serat sabut kelapa atau eksportir. Hal
ini karena keterbatasan dan kendala modal untuk pengadaan mesin "press".
Akses terhadap informasi dan pasar ekspor merupakan salah satu kendala usaha kecil
serat sabut kelapa pada aspek pemasaran ini. Hal ini juga berhubungan dengan
kelengkapan mesin / peralatan produksi pada usaha kecil yang menyebabkan jumlah
dan kualitas produk yang dihasilkan tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk ekspor
langsung.
Pada tingkat pemasaran lokal dan domestik yang
terjadi selama ini, kendala yang dihadapi oleh pengusaha kecil adalah lamanya
realisasi pembayaran hasil penjualan produk. Kendala ini semakin dirasakan oleh
pengusaha kecil karena keterbatasan modal kerja
B.
Aspek Produksi
a.
Lokasi Usaha
Serat sabut kelapa atau Coco Fiber merupakan produk
yang berasal dari proses pemisahan serat dari bagian kulit buah (epicarp dan
mesocarp). Bagian kulit buah merupakan bagian terbesar dari buah kelapa, yaitu
sekitar 35 % dari total bobot. Bahan baku kulit buah kelapa bersifat kamba, sehingga
untuk efisiensi biaya transportasi serta kemudahan dalam pengadaan bahan baku,
maka lokasi usaha ditetapkan dekat atau pada daerah sentra produksi kelapa.
Lokasi usaha seyogyanya juga tidak pada lokasi pemukiman, karena hasil samping
pengolahan berupa bagian gabus (coco peat) dapat mengganggu lingkungan. Usaha
ini memerlukan area yang cukup luas untuk penampungan bahan baku, penjemuran,
dan penampungan hasil samping karena karakteristik bahan baku dan hasil samping.
b.
Fasilitas Produksi
Proses produksi serat sabut kelapa secara teknologi
relatif sederhana dan menggunakan mesin / peralatan yang sudah diproduksi oleh
produsen mesin peralatan di dalam negeri. Berdasarkan informasi yang diperoleh,
produsen mesin peralatan untuk produksi serat sabut kelapa untuk wilayah Jawa
Barat berada di wilayah Jabotabek dan Bandung. Secara umum fasilitas produksi utama
yang dibutuhkan adalah mesin pengurai dan pemisah serat dari sabut kelapa,
fasilitas penjemuran atau mesin pengering, dan alat press serat sabut kelapa
dan serbuk gabus sabut kelapa.
c.
Bahan Baku
Bahan baku industri serat sabut kelapa adalah sabut
kelapa yang merupakan hasil samping dari usaha perdagangan buah kelapa untuk
konsumsi rumah tangga serta industri pengolahan kopra atau minyak kelapa. Bahan
baku ini
secara
umum terdapat secara melimpah di daerah sentra produksi buah kelapa, terutama
Propinsi Aceh, Sumatera Utara, Riau, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan, serta NTT dan
Maluku. Bahan baku sabut kelapa yang diinginkan adalah yang berasal dari buah kelapa
dalam dengan tingkat kematangan yang sesuai untuk pembuatan minyak kelapa atau
kopra.
d.
Tenaga Kerja
Secara relatif industri serat sabut kelapa merupakan
industri yang bersifat padat karya terutama untuk industri yang masih
menggunakan teknologi proses yang sederhana. Untuk industri seperti ini,
kebutuhan tenaga kerja terbesar adalah pada tahap sortasi dan pembersihan serat
dari butiran gabus, yang tidak memerlukan keterampilan khusus. Tingkat
keterampilan yang sederhana diperlukan untuk tenaga kerja yang bertugas sebagai
operator mesin/peralatan yang relatif dapat dilatih dengan mudah. Tingkat keterampilan
yang lebih tinggi diperlukan untuk operator perawatan dan perbaikan mesin,
khususnya mesin penggerak. Berdasarkan studi kasus di wilayah Kabupaten Ciamis,
setiap unit usaha industri serat sabut kelapa membutuhkan tenaga kerja dengan
status operator mesin sekitar 5 - 6 orang dan tenaga kerja sortasi dan
pembersihan sekitar 20 - 30 HOK per hari.
f.
Jenis dan Mutu Produksi
Jenis produk yang dihasilkan dari industri
pengolahan serat dapat dikelompokan menjadi dua yaitu : Serat Sabut Kelapa dan Butiran Gabus. Mutu
serat sabut kelapa atau Coconut Fibre, ditentukan oleh warna, persentase
kotoran, kadar air, dan proporsi antara bobot serat panjang dan serat pendek.
Spesifikasi mutu produk serat yang diekspor oleh salah satu perusahaan
eksportir di Jakarta adalah:
1.
Kadar air < 10 %
2.
Kandungan gabus: < 5 %
3.
Panjang serat ( 2- 10 cm) 30 %
4.
Panjang serat (10 - 25 cm) 70 %
5.
Ukuran Bale 70 x 70 x 50 cm
6. Bobot /Bale 50 Kg /Bale
Butiran gabus yang dikenal dalam perdagangan sebagai
Coconut Peat mutunya ditentukan oleh kandungan benda asing, ukuran butiran,
kadar air, dan kandungan mineral. Spesifikasi mutu Coconut Peat yang diekspor oleh
salah satu perusahaan eksportir di Jakarta adalah sebagai berikut :
1.
Tidak mengandung kandungan kimia
2.
Bebas dari weed dan seeds
3.
Kadar air <20 %
5.
EC 0,60 mS/cm
6.
NaCl 0.54%
7.
NH4 0.08%
8.
Ca: 0.45%
9.
SO4: 0.00%
10.
P: 0.00%
h.
Produksi Optimum
Berdasarkan hasil studi kasus untuk industri serat
sabut kelapa di wilayah Kabupaten Ciamis, tingkat produksi maksimum serat sabut
kelapa terutama ditentukan oleh kapasitas mesin pemisah serat dan mesin sortasi
/ pengayak serta jam kerja mesin atau jumlah shift kerja. Seperti halnya
industri manufaktur yang lain, maka kapasitas mesin pada setiap tahapan
ataurangkaian proses produksi harus seimbang (balance). Beberapa kasus usaha industri
kecil serat sabut kelapa di Indonesia, rata-rata kapasitas mesin maksimum
adalah berkisar 400 - 600 kg serat per hari (8 jam/hari). Pada kondisi
kapasitas tersebut usaha menjadi tidak menguntungkan dan tidak layak jika
tingkat produksi berada di bawah 350 kg serat per hari dengan parameter teknis
dan biaya adalah tetap. Semakin besar tingkat produksi sampai batas maksimum
kapasitas mesin, maka tingkat keuntungan dan kelayakan usaha semakin baik.
C.
Aspek Keuangan
a.
Komponen Biaya
Analisa aspek keuangan diperlukan untuk mengetahui
kelayakan usaha dari sisi keuangan, terutama kemampuan pengusaha untuk
mengembalikan kredit yang diperoleh dari bank. Analisa keuangan ini juga dapat dimanfaatkan
pengusaha dalam perencanaan dan pengelolaan usaha industri pengolahan serat
sabut kelapa. Perhitungan aspek keuangan terdiri dari dua skenario berdasarkan kelengkapan
alat dan proses yang digunakan, yang berimplikasi kepada total kebutuhan dana,
kapasitas, kualitas dan harga produk serta jangkauan pasar.
Skenario teknologi -1, usaha dilengkapi dengan mesin
pengering dan mesin pengepress, dengan kapasitas usaha yang lebih besar yaitu
1500 kg serat per hari. Pada skenario -2, pengeringan dengan cara penjemuran
dan pengepressan dilakuan secara manual. Teknologi-2 yang sederhana ini sebagian
besar diterapkan oleh usaha kecil di beberapa daerah. Ke dua skenario tersebut
menggunakan sumber kredit yang sama, dengan tingkat bunga 24% per tahun. Untuk
penyusunan dan proyek kelayakan usaha diperlukan adanya beberapa asumsi
mengenai parameter teknologi proses maupun biaya.
Komponen biaya usaha industri pengolahan mencakup
biaya investasi dan biaya operasi usaha. Biaya investasi mencakup (1) pengadaan
alat dan mesin, (2) bangunan, dan (3) modal kerja. Modal kerja direncanakan
untuk kebutuhan dana operasi selama 4 bulan.
b.
Pendapatan
Pendapatan usaha industri serat sabut kelapa
diperoleh dari produk utama, yaitu serat dan hasil samping berupa gabus yang
dikenal sebagai Coco Peat. Pendapatan usaha diproyeksikan dengan asumsi bahwa
pada tahun pertama usaha beroperasi pada kapasitas 80% dan pada tahun kedua
kapasitas 90%, dan pada tahun ke tiga dan seterusnya beroperasi pada kapasitas
100%.
c.
Hambatan dan Kendala
Hambatan dan kendala yang dihadapi oleh industri
serat sabut kelapa ini dari aspek keuangan menyangkut aspek arus kas masuk dan
keluar keuangan. Pada aspek arus kas masuk adalah terjadinya penundaan
pembayaran hasil penjualan produk yang menyebabkan akumulasi keuntungan usaha
tidak dapat membiayai operasi usaha selama masa penundaan pembayaran. Walaupun
demikian hambatan dan kendala ini dapat di atasi apabila pengusaha mempunyai
"track record" yang baik di mata perbankan, sehingga dapat diatasi
melalui kredit modal kerja yang dapat disediakan oleh perbankan.
Aspek arus kas masuk, khususnya yang menyangkut dengan
kebutuhan modal investasi, kendala yang dihadapi oleh pengusaha kecil adalah
pada aspek administrasi dan persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh
kredit dari perbankan. Di samping itu, hambatan dan kendala akan dihadapi oleh
pengusaha dalam memperoleh kredit apabila perbankan belum mempunyai informasi
yang lengkap tentang kelayakan dan prospek usaha ini, serta pengusaha atau
calon pengusaha yang akan berinvestasi pada industri serat sabut kelapa ini
belum pernah menjadi nasabah bank. Pada aspek arus kas keluar, tidak ada
hambatan dan kendala pada aspek keuangan apabila penurunan harga jual dan
kenaikan biaya operasi masih di dalam kisaran yang dimungkinkan untuk kelayakan
finansial. Simulasi terhadap aspek finansial menunjukkan bahwa usaha ini akan
menghadapi masalah finansial jika terjadi kenaikan biaya usaha lebih dari 40%
atau penurunan harga jual produk mencapai lebih dari 25%.
D.
Aspek Sosial Ekonomi
a.
Manfaat Sosial Ekonomi
Bahan baku sabut kelapa merupakan hasil samping dari
industri pengolahan kopra atau petani / pedagang buah kelapa. Keberadaan
industri pengolahan serat ini menjadikan hasil samping sabut kelapa memberikan
nilai ekonomis yang lebih baik, sehingga meningkatkan pendapatan
petani/pedagang buah kelapa. Pemanfaatan sabut kelapa sebagai bahan baku
industri sehingga menjadi komoditi perdagangan menyebabkan terbukanya
kesempatan kerja baru, yaitu dalam bentuk adanya pedagang pengumpul sabut
kelapa serta usaha jasa transportasi. Karakteristik usaha kecil industri
pengolahan sabut kelapa secara umum tidak sepenuhnya menggunakan mesin /
peralatan dalam proses produksinya, khususnya pada tahap pembersihan,
penyaringan dan pengeringan. Pada kondisi teknologi produksi tersebut, usaha
ini membutuhkan tenaga kerja paling sedikit sekitar 20 - 30 HOK, dengan jam kerja
sekitar 6 - 8 jam per hari.
b. Manfaat
Regional
Secara umum keberadaan dan pengembangan industri
serat sabut kelapa memberikan dampak yang positif bagi wilayah. Terbukanya
peluang kerja serta peningkatan pendapatan masyarakat dan sekaligus peningkatan
pendapatan daerah merupakan dampak positif bagi pengembangan industri serat
sabut kelapa. Serat sabut kelapa merupakan komoditi ekspor, sehingga akan
memberikan kontribusi bagi pendapatan devisa negara dan sekaligus juga
menghemat devisa. Oleh karena serat sabut kepala merupakan bahan baku bagi
industri matras, jok mobil, tali dan lain-lain, maka pengembangan industri ini
dapat mendorong berkembangnya industri pengguna serat sabut kelapa.
D.
Aspek Lingkungan
Industri pengolahan serat sabut kelapa tidak
menghasilkan limbah cair maupun gas. Limbah yang terjadi adalah dalam bentuk
fisik, yaitu berupa hasil samping gabus sabut kelapa dalam jumlah atau volume
yang besar. Setiap 1000 butir sabut kelapa yang diproses akan menghasilkan
sekitar 100-125 liter butiran gabus. Akan tetapi, hasil samping butiran gabus
atau Coco Peat ini masih mempunyai
nilai ekonomi, dalam pengertian dapat dijual apabila dilakukan proses
penyaringan dan pengeringan serta dengan teknologi pengemasan sehingga memenuhi
persyaratan mutu yang dikehendaki konsumen.
Coco
Peat
dapat digunakan sebagai media tanam antara untuk tanaman jamur. Gabus sabut
kelapa dalam bentuk debu dari proses pemisahan dan sortasi serat berpotensi
terhadap kesehatan tenaga kerja, apabila tenaga kerja tidak dilengkapi dengan
pelindung atau masker. Akan tetapi karena ukuran partikelnya yang relatif
besar, maka debu gabus kelapa ini tidak memberikan dampak yang negatif terhadap
lingkungan sekitarnya. Industri pengolahan serat memberikan dampak lingkungan
fisik yang positif oleh karena dapat mengurangi limbah sabut kelapa sebagai
hasil samping dari kegiatan usaha perdagangan buah kelapa dan usaha pengolahan
kopra.
REFERENSI
Akuba,
R.H. dan Mahmud, Z. 1996. Hasil-hasil
Penelitian Balai Penelitian Kelapa di Kawasan Timur Indonesia. Balai
Penelitian Kelapa. Manado.
Anonim.
1997. Laporan Teknis Tolok Ukur Rekayasa
Peralatan Agroindustri. Kedeputian Bidang Pengkajian Industri – BPP
Teknologi. Jakarta.
Anonim.
1998. Brosur Balai Besar Industri Kimia.
Departemen Perindustrian dan Perda- gangan. Jakarta.
Anonim.
1999. Prospek Bisnis Limbah Kelapa.
Majalah Trubus Edisi Maret 1999. Jakarta.
Arancon
Jr., R.N. 1999. Overview and Prospects of
the Indonesian Coconut Industry in the World Perspective. Asian and Pacific
Coconut Community. Makalah Seminar Perkelapaan Indonesia. Jakarta
Rahman,
H.M.Y. 1999. Potensi dan Peluang Pasar
Produk-produk Kelapa. Direktorat Industri Agro. Departemen
Sitohang, A. Paskaris, Salmiah,
Sri F. Ayu. 2013. Analisis Finansial Dan Strategi Pengembangan Usaha Pengolahan Sabut
Kelapa Menjadi Serat Kelapa (Coco
Fiber) (Studi Kasus : Kecamatan Batang Kuis, Kabupaten Deli Serdang). Program
Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Subyanto. 2000. Prospek Industri Pengolahan Limbah Sabut Kelapa. Jurnal
Teknologi Lingkungan, Vol.1, No. 1.
Taufikkurahman, L.
1988. Coconut Statistical Yearbook 1977.
APCC. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar