Berbicara tentang biofilm, seharusnya bukan hal yang asing
di telinga kita. Biofilm tertebaran di sekitar kita, baik di dalam tubuh kita
maupun di lingkungan sekitar kita. Biofilm merupakan kumpulan bakteri yang
terus tumbuh di sebuah permukaan bahan padat maupun cair. Sebagai gambaran
adalah karang yang tumbuh di gigi kita. Itu adalah salah satu jenis biofilm
bakteri dalam tubuh kita.
Pertumbuhan biofilm ini bergantung pada substansi matrix
bahan yang digunakan. Matrix bahan yang digunakan ini akan menyediakan aseptor
elektron bagi mikroba untuk proses oksidasi dalam rangka menghasilkan energi.
Selain itu, pembentukan biofilm ini bergantung pada keragaman/variasi jenis
mikroba yang tumbuh. Biofilm dapat dibentuk dari satu jenis mikroba saja, namun
secara alami hampir semua jenis biofilm terdiri dari campuran berbagai jenis
mikroba. Sebagai contoh fungi, alga, yeast (ragi), amuba (bakteri) dan jenis
mikroba lainnya. Semakin beragam mikroba yang tumbuh, maka biofilm yang
terbentuk akan semakin cepat dan kompetitif. Bagi bakteri yang bersifat aerob
akan tumbuh di bagian dalam, sedangkan bakteri yang bisa tumbuh secara anaerob
akan berada di layer bagian dalam. Semakin beragam bakteri, maka interaksi
antara bakteri semakin kompleks. Demikian halnya jenis mikroba yang lain.
Biofilm akan terbentuk pada permukaan yang lembab, hal ini
disebabkan mikroba dapat bertahan hidup jika ia mendapatkan kelembaban yang
cukup. Pada prosesnya biofilm mengeksresikan suatu bahan yang licin (berlendir)
pada sebuah permukaan, kemudian akan menempel dengan baik di permukaan tersebut
jika keadaan minimum bakteri tersebut terpenuhi. Beberapa lokasi yang dapat
dijadikan tempat hidup biofilm meliputi material alami di atas dan di bawah
tanah, besi, plastik dan jaringan sel. Selama kita dapat menemukan kombinasi
nutrien, air dan sebuah permukaan yang tidak mengandung senyawa beracun, disana
sangat mungkin kita temukan biofilm.
Biofilms menjaga kesatuan formasinya dengan saling berikatan
satu sama lain pada untaian molekul gula. Hal tersebut yang kemudian
disebut sebagai EPS atau extracellular unsur polymeric, yaitu
terbentuknya polimer antar biofilm, sehingga kemungkinan
untuk melepas menjadi sulit. Karena dengan mengekskresikan EPS ini,
masing-masing biofilm sangat mungkin saling mensuport untuk berkembang dalam
dimensi yang kompleks dan sangat erat (utuh). Matriks yang terbentuk dengan EPS
ini akan melindungi sel dan memudahkan komunikasi antar sel melalui isyarat
biokimia. Beberapa biofilms berada dalam fasa cair, dimana keadaan tersebut
membantu sel dalam mendistribusikan zat yang dibutuhkan dan memberi sinyal
molekul pada sel. Matriks ini cukup kuat, oleh sebab itu pada kondisi-kondisi
tertentu, biofilm dapat berwujud padat. Masing-masing layer dalam biofilm akan
mempunyai ketebalan yang berbeda, hal ini sangat dipengaruhi oleh keadaan
lingkungan tumbuhnya.
Koloni Mikroba
Biofilm adalah lapisan yang merupakan koloni
dari konsorsium mikroba yang menempel dan menutupi suatu permukaan benda padat
di lingkungan berair. Para ahli mikrobiologi memperkirakan bahwa biofilm adalah
cara hidup mikroorganisme yang dominan dibandingkan dengan cara hidup
melayang-layang di dalam cairan atau planktonis.
Biofilm terbentuk ketika mikroba perintis
mulai menempel pada suatu permukaan benda padat (plastik, bebatuan dan
lain-lain) di lingkungan berair. Mikroba ini dapat berupa species tunggal atau
bermacam species yang kemudian menghasilkan zat polimer yang kental dan
lengket-seperti lem- ke luar sel. Inilah yang membuat mereka dapat menempel
kuat pada permukaan benda padat dan saling merekatkan diri satu sama lain.
Polimer yang lengket ini biasanya terdiri dari kelompok senyawa polisakarida.
Polisakarida ini tidak hanya berguna untuk menempel pada suatu permukaan,
tetapi juga dapat menjerat sekaligus mengkonsentrasikan zat makanan yang
terkandung dalam air yang mengelilingi permukaan biofilm. Polisakarida ini juga
melindungi sel mikroba dari toksik yang dapat membunuh mikroba penghuni
biofilm.
Karena itu dengan membuat biofilm, mikroba
menjadi lebih sanggup bertahan terhadap stres lingkungan dari pada hidup secara
planktonis. Mereka ibarat membangun masyarakat sebuah kota yang tangguh di mana
kebutuhan hidup mikroba tersebut seperti energi, zat gizi, dan pertahanan
tercukupi dengan saling tergantung satu sama lain. Mereka hidup saling menempel
dengan tingkat kepadatan yang tinggi dan mobilitas individu yang nyaris nol.
Dalam kehidupan sehari-hari biofilm banyak
dijumpai di sekitar kita. Salah satu contohnya adalah karang gigi. Karang gigi
biasanya adalah lapisan biofilm dari bakteri Streptococcus. Biofilm yang dapat
terdiri dari multi lapisan ini menempel pada permukaan gigi dan dapat
menyebabkan caries gigi. Penelitian biofilm pada gigi ini berdampak luas pada
ilmu kedokteran gigi dan kesehatan mulut.
Biofilm juga terdapat pada bagian tubuh
manusia lainnya. Biofilm dalam tubuh manusia biasanya menjadi masalah ketika
terjadi pencangkokkan organ buatan. Koloni mikroorganisme patogen dalam bentuk
biofilm-lah yang biasanya menyebabkan infeksi dan penolakan penanaman organ
baru tersebut ke tubuh pasien. Mikroba penghuni biofilm yang menutupi permukaan
organ buatan itu sulit dijangkau oleh antibiotik dan dapat menebarkan infeksi
yang berujung pada penolakan tubuh terhadap organ yang dicangkok.
Dalam prespektif industri, biofilm juga dipandang sebagai gangguan.
Sebagai contoh, biofilm yang terdapat pada pipa-pipa minyak atau saluran air dapat
menyebabkan korosi pipa secara pelan tetapi pasti, sehingga menyebabkan
kebocoran pipa.
Meningkatkan Daya Kohesi Tanah Berpasir
Akan tetapi, biofilm ternyata juga bisa memberi keuntungan bagi
manusia dan dapat dimanfaatkan sebagai solusi alternatif untuk stabilisasi
bangunan yang berdiri di atas tekstur tanah yang rentan terhadap bencana gempa
bumi. Penelitian ini dilakukan oleh para peneliti dari Lafayette College,
Amerika Serikat, dan dipresentasikan pada pertemuan tahunan Masyarakat Ilmiah
Mikrobiologi Amerika Serikat Juni tahun lalu.
Biofilm yang diaplikasikan ini adalah koloni
dari bakteri Flavobacterium johnsoniae yang secara alami terdapat di tanah.
Bakteri ini dipilih karena bersifat non-patogenik, terdapat secara alami pada
aliran (pembuangan ) air tanah, tidak perlu zat nutrien tinggi, bahkan dapat
menguraikan molekul makro yang banyak terdapat dalam limbah seperti kitin, dan
membentuk biofilm. Penggunaan bakteri ini diharapkan dapat secara alami
membentuk polimer biofilm pada lapisan tanah yang rentan terhadap gempa tempat
bangunan berdiri lewat aliran air tanah.
Tim peneliti yang melibatkan peneliti biokimia dan teknik sipil dari
Lafayete College ini mengadakan penelitian dengan cara simulasi dengan kotak
model tanah pasir seukuran kopor dengan dua jenis perlakuan.
Pertama, adalah simulasi secara statis. Tangki berisi tanah pasir dicampur
dengan kultur cair bakteri Flavobacterium. Pertumbuhan biofilm bakteri dipantau
secara berkala dengan mikroskop, sedangkan ketahanan pasir terhadap guncangan
dan gaya robekan diukur dengan menggunakan alat yang dapat mengukur daya kohesi
partikel. Makin besar daya kohesi pasir, maka makin tahan terhadap guncangan
dan robekan. Setelah beberapa hari, bakteri ini membentuk biofilm, ternyata
daya kohesi dan soliditas pasir meningkat. Partikel-partikel pasir yang
bercampur dengan koloni biofilm Flavobacterium ternyata saling rekat satu sama
lain. Ketika daya kohesi tanah diukur, kekuatan tanah pasir meningkat 48 sampai
87 persen dibandingkan dengan pasir yang tidak dilapisi bakteri penghasil
biofilm.
Sedangkan simulasi yang kedua
yaitu dengan mengalirkan air melewati tangki sampel bakteri -yang diatur
sedemikian rupa- sehingga air yang berisi kultur bakteri dapat mengaliri tanah
sehingga diperoleh pasir yang dilapisi oleh biofilm. Dengan simulasi ini daya
kohesi pasir ternyata meningkat 15-36 persen.
Kesimpulannya, baik simulasi statis maupun
aliran air tanah untuk membuat tanah berlapis biofilm jelas menunjukkan
peningkatan daya kohesi tanah. Dengan keberadaan biofilm pada tanah maka
meningkatkan keresistenan tanah terhadap guncangan dan gaya robek seperti
gempa. Sehingga lapisan tanah yang lebih solid untuk menstabilkan bangunan di
atasnya dapat dicapai dengan cara yang lebih alami, ramah lingkungan, dan biaya
pemeliharaan yang relatif rendah.
Penggunaan biofilm untuk membuat bangunan
agar lebih tahan gempa memang baru sebatas penelitian awal, di mana
implementasi di lapangan masih memerlukan penelitian dan pengembangan lebih
lanjut. Namun, ide kreatif dengan memanfaatkan fenomena biologi untuk
mengurangi kerugian robohnya bangunan (yang dapat menyebabkan korban jiwa)
akibat gempa sangat orisinil, dan mungkin dapat sejalan dengan kondisi tanah
air yang secara geografis dan geologis selalu akrab dengan gempa.
http://www.kamusilmiah.com/geologi/biofilm-untuk-stabilisasi-bangunan-agar-tahan-gempa/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar